Kesalahan

“Ini benar-benar enak!” Adi berseru dengan riang usai mencicipi kuah sayur buatan Nissa hingga kedua pipi Si pemasak pun bersemu. Nissa tersenyum kikuk, “Ah biasa saja, Kak.”

Risi terkekeh. “Tante setuju. Masakan kamu memang lezat.”

Lalu Adi menoleh pada Hamzah yang sibuk menyuapkan makanan ke mulutnya. Penasaran dengan tanggapan Hamzah mengenai bakat perempuan yang disukainya, Adi bertanya. “Gimana, Kak?”

Hamzah yang sejak tadi memilih diam saja, mendongakkan kepalanya dan memberi respond, “Iya, enak.”

Risi yang mendengar nada bicara putra sulungnya begitu datar, berkomentar, “kamu ini kaku banget sih, Ham. Jangan begitu dong sayang. Cepat atau lambat, nak Nissa bakal jadi bagian dari keluarga kita juga kan. Jangan irit bicara ya.”

Nissa yang sedang meminum air mineral, tersedak akibat perkataan Risi tersebut. Adi yang duduk di hadapannya, jadi khawatir.

“Kamu gak apa-apa, dek?” Tanya Adi.

Sebenarnya Nissa tidak sedang baik-baik saja, setelah gadis itu mendengar ucapan frontal Si Nyonya pemilik rumah yang mengatakan jika cepat atau lambat, Nissa bakal jadi bagian dari mereka. Artinya, Risi sungguh serius menginginkan dirinya menjadi manantu wanita itu. Tetapi, siapa yang akan menikahinya kelak? Adi? Atau justru Hamzah? Untuk sampai saat ini, bila jawabannya terletak pada dugaan yang kedua, Nissa jelas menyetujui. Namun, bila itu adalah Adi, setidaknya Nissa butuh waktu membiasakan diri dulu untuk menerima kehadiran laki-laki itu.

Nissa mengangguk, berusaha menutupi semua perasaannya yang berubah tak enak. “Iya Kak Adi, gak apa-apa.”

Risi yang berada di samping Nissa, mengusapi punggung gadis itu dengan lembut.

“Pelan-pelan minumnya nak,” ujarnya tanpa menyadari bahwa dialah yang menjadi penyebab Nissa tiba-tiba mengalami insiden tersedak.

Nissa tersenyum canggung. “Iya, Tante. Makasi.”

Sesaat Hamzah memperhatikan mereka. Tidak lama kemudian Hamzah kembali sibuk menyantap makan malamnya.

“Tenggorokan kamu sakit gak?” Tanya Risi. Nissa menggeleng. “Enggak kok, Tante.”

Kala terlibat percakapan ringan itu, tiba-tiba ponsel Hamzah bergetar. Hamzah lantas menghentikan aktivitasnya dan segera merogoh kantong celana. Hamzah meraih minumnya dan buru-buru meneguk sebelum mengangkat panggilan dari seseorang. Nama Tengku tercantum jelas di layar ponselnya. Hamzah menekan tombol hijau dan menyapa sosok di seberang sana, “Assalamu’alaikum?”

“Wa’alaikumsalam, Ham. Saya cuman mau kabarin, saya sudah sampai di rumah. Tapi kalau sekiranya adik saya masih betah di sana, gak masalah.”

Tengku menghubungi Hamzah sebab dia tahu adiknya memang lagi berada di rumah sahabatnya. Hamzah sendiri yang sore tadi sudah memberitahukan ke Tengku supaya sepulangnya nanti, Tengku tidak bingung mencari-cari adiknya.

Hamzah melirik sekilas pada Nissa yang tengah menatapnya. Kini pandangan ketiga orang di sekitarnya, tertuju padanya. Hamzah memberikan respon, “Baik. Nanti saya sampaikan informasi ini ke dia. Kebetulan Nissa juga sedang makan malam.”

“Oh begitu,” kata Tengku. “yasudah terimakasih sebelumnya. Maaf sudah ganggu.”

“Sama sekali tidak kok.”

“Jika adik saya ingin pulang, tolong kabari ke saya ya. Biar nanti saya yang jemput. Terimakasih. Saya tutup teleponnya ya. Assalamu’alaikum.”

“Baik, Wa’alaikumsalam.”

Setelah panggilan itu terputus, lalu Hamzah menyimpan kembali ponselnya. Sang Ibu yang sedari tadi menyimak percakapan dia dengan Si penelpon, bertanya, “Tengku?”

“Iya, Ummi,” Hamzah membenarkan lalu memandangi Nissa. “dek, Kakak kamu bilang, dia sudah pulang.”

Wajah Nissa langsung berseri. Dengan penuh semangat, gadis itu sontak berbicara, “Wah, kalau gitu aku izin pulang sekarang ya semuanya.”

“Loh, kenapa buru-buru? Ayo tambah dulu makannya, baru boleh pulang.” Ujar Risi.

Nissa menanggapi ucapan Risi sambil tersenyum, “Aku belum mengerjakan PR, Tante. Besok harus dikumpulkan.”

“Oh yasudah,” kata Risi yang akhirnya memahami.” Kalau gitu biar Adi saja yang antar kam….”

“Ham saja yang antar Nissa pulang, Ummi,” potong Hamzah dengan cepat seraya beranjak dari duduknya.

Nissa, Risi dan Adi memasang ekspresi tidak percaya. Hamzah yang tidak ingin ketiganya salah paham, memberi penjelasan, “Sekalian Ham mau menemui Tengku. Ada yang ingin Ham bicarakan dengan beliau.”

“Oh,” Risi mengangguk mengerti. Adi terlihat sedikit kecewa. Namun, jika itu memang benar, dia takkan menghalangi urusan Kakaknya.

“Hati-hati kalau gitu,” ujar Sang Ibunda yang menandakan bahwa dia setuju saja. “jalan kaki atau pakai mobil?”

“Terserah Nissa saja,” jawab Hamzah sembari menatap yang bersangkutan.

***

Di suruh memilih, Nissa jelas meminta untuk berjalan kaki saja. Lagi pula, jarak rumah mereka tidak jauh. Untuk apa naik mobil? Nissa tidak semanja itu untuk di perlakukan istimewa bak tuan putri. Dan sekarang, karena merasa senang bisa bersama-sama dengan Hamzah, di perjalanan menuju rumahnya, Nissa kerap mencuri pandang ke laki-laki itu.

Dan entah kenapa, wajah Hamzah terlihat lebih tampan jika malam begini. Bagi Nissa, Hamzah juga terlihat keren. Pakaian Hamzah yang begitu santai, di mata Nissa, terlihat sangat menarik. Dia menyukainya.

Jika saja Hamzah bukan seseorang yang menjaga diri dari lawan jenis, Nissa sudah pasti memeluk laki-laki itu. Sayangnya, Hamzah adalah tipikal lelaki ta’at beragama yang menjunjung tinggi bahwa menyentuh wanita yang bukan mahramnya adalah hal yang harus dihindari. Sebab itulah, Nissa berkeinginan sekali menjadi wanita halalnya. Mirisnya, Hamzah tempaknya tak menginginkan hal yang sama.

Tapi tidak mengapa.

Sebelum janur kuning melengkung, Nissa akan berusaha membuat laki-laki dingin itu membuka hati untuknya. Mudah-mudahan saja suatu hari nanti Hamzah akan luluh juga padanya meski keyakinan yang kini bercongkol di hati Nissa cuman 5% dari 100%.

“Mengenai yang tadi siang, kamu lagi kenapa?” Hamzah mendadak menoleh padanya. Nissa yang berada di samping pria itu lantas tersentak kaget dan membuang wajahnya guna menyembunyikan pipi yang memerah karena malu akibat ketahuan sedang memandangi Hamzah diam-diam.

Hamzah tersenyum geli.

“A-anu,” Nissa menautkan kedua jarinya dan meremas dengan gugup. Dia pikir, Hamzah tidak akan mengungkitnya lagi. Sekarang, apa dia harus jujur? Nissa merasa malu jika mengaku. Namun bilamana berbohong, dia tidak tahu harus beralibi seperti apa. Nissa menghela napas. Akhirnya gadis itu memilih opsi yang pertama. Dengan malu-malu, ia mengatakan yang sebenarnya.

“Hormonku lagi gak stabil, Kak.”

Hamzah mengerutkan dahi. “Maksud kamu? Saya tidak paham, dek.”

“I-itu,” Nissa menggigit bibir, dengan pelan ia melanjutkan ucapannya, “aku PMS.”

Mendengar pengakuan gadis di sebelahnya, wajah Hamzah turut memerah. Hamzah merasa panas.

Seandainya saja dia tahu apa yang akan dikatakan Nissa, dia memilih memendam rasa penasarannya saja.

“Maaf,” kata Hamzah dengan canggung.

Nissa mengalihkan wajah ke arahnya dan mendongakkan sedikit kepala. “Eh, i-iya Kak. No problem.”

Hamzah melakukan hal serupa.

Sejenak, sepasang manik mereka pun bertemu pandang. Bahkan keduanya sampai memberhentikan langkah saking khidmatnya terjebak adegan tatap-menatap. Di bawah cahaya rembulan, Hamzah dapat melihat wajah Nissa dengan jelas. Gadis itu…. Hamzah baru sadar bahwa Nissa memiliki muka oval nan kecil yang sangat pas dengan tubuh mungilnya. Matanya berbentuk almond dengan bulu mata yang lentik. Hidungnya memang tidak begitu mancung, akan tetapi terlihat serasi karena bibir gadis itu yang tipis.

Nissa… entah kenapa terlihat imut di matanya. Hamzah mengangkat tangan hendak menyentuh pipi gadis itu yang sedikit gembul. Namun… saat tersadar, Hamzah langsung saja mengibaskan tangannya ke udara. Kemudian membuang wajahnya ke samping dan mengusapnya kasar dengan kedua tangan. Hamzah tiada hentinya menggumamkan istighfar.

Nissa memegang tali tasnya erat-erat. Tadi Hamzah ingin apakan dia? Merasa suasana menjadi canggung. Nissa refleks berlari menuju rumahnya yang mulai terlihat. Gadis itu pergi meninggalkan Hamzah dengan dada berdebar. Sedangkan Hamzah yang sadar Nissa berlalu lebih dulu, meneriaki gadis itu, “Dek!”

Nissa tidak menanggapi.

Hamzah menarik napasnya dalam-dalam. Sekarang, dia harus apa?

Tetap melanjutkan niatnya menemui Tengku, atau lebih baik kembali pulang?

Hamzah mengeram tertahan. Dia sudah melakukan keslahan di hari ini.

Komentar