Memperhatikan
Nissa meringis kesakitan ketika Risi
mengolesi salep pada luka di telapak tangannya. Risi berdecak lalu menoleh
sekilas ke anak sulungnya.
“Kamu tuh bikin malu Ummi, Ham. Sudah
lama bisa ngendarain mobil tapi masih saja mencelakai anak orang.”
Hamzah yang duduk di hadapannya
menarik napas. “Ham gak sengaja Ummi.”
Adi meraih bantal dan melemparnya ke
kepala Hamzah hingga Sang Kakak mengeluh. “Apa-apan sih, Di!”
“Untung cuman lecet. Kalau ada apa-apa
sama calon bini gua, awas aja,” ujar Adi dengan kesal. Nissa mengerlingkan mata
mendengarnya.
Risi mendengus. Wanita paruh baya itu langsung
melayangkan tatapan tajam ke anak bungsunya. “Jaga sikap.”
Adi menyengir sewaktu dirinya sadar
kembali bahwa di ruang tamu juga ada Nissa. Adi mengedipkan mata pada gadis
itu. “Maaf ya Neng cantik. A’a kebablasan, hehehe. Gak sengaja ngomong kasar
deh jadinya.”
Nissa tersenyum kikuk sebagai bentuk
menghormati. “Iya, Kak Adi.”
Diberi senyum oleh perempuan yang
ditaksirnya berhasil bikin dada Adi jadi berdebar-debar meski dia tahu Nissa
melakukannya untuk menjaga sopan-santun di depan Sang Ibunda.
Hamzah berdeham. Fokus Nissa dari Adi
pun pecah kepadanya. Hamzah beranjak dari duduk. “Ummi, Ham izin balik ke kamar
dulu. Pekerjaan Ham masih ada yang belum tuntas.”
Nissa tidak mengerti apakah dia harus
senang mendengarnya atau tidak. Jika Hamzah pergi, berarti dia terbebas dari
tuntutan Hamzah yang ingin meminta penjalasan padanya perihal kejadian siang
tadi. Tetapi, dia akan bertemu masalah baru. Yaitu terjebak bersama Adi.
Harapan Nissa cuman satu, semoga wanita paruh baya yang masih setia
mengobatinya itu tidak ikut-ikutan meninggalkannya.
“Loh, ada tamu malah mau pergi?”
Hamzah tersenyum. “Kan sudah ada Ummi
dan Adi, “ujarnya pada Risi. Hamzah melempar tatapannya ke Nissa. “gak masalah kan
dek kalau kamu saya tinggal dulu?”
Nissa mengangguk dengan ragu-ragu.
“Eum, iya Kak Ham.”
Hamzah menarik bibirnya. “Oh iya Ummi,
bahan dapur yang tadi Ham beli…. Sudah Ham taruh di dalam kulkas ya.”
“Oke,” kata Risi. “nanti pas waktunya
makan malam, kamu turun ya nak.”
“Siap, Ummi.” Hamzah mengambil langkah
menjauhi ketiganya. Laki-laki itu pun berlalu dari ruangan. Nissa menjilat
bibirnya merasa agak sedikit canggung. Dia tidak terbiasa terjebak dengan Risi
mau pun Adi. Pasalnya, kedua orang itu tidak terlalu dekat dengannya sejak
awal.
Hanya Hamzah-lah yang membuat Nissa
nyaman karena Hamzah yang sering bertandang ke rumahnya untuk bertemu Tengku.
Jadi, dia tak lagi merasa asing dengan laki-laki itu. Tetapi, mengenal lebih
jauh Risi dan Si bungsu Adi, sepertinya tidak terlalu buruk.
“Kakak kamu hari ini lembur, kan?”
Nissa membenarkan, “Iya, Tante. Aku juga
gak tahu pulang jam berapa.”
“Kalau begitu, kamu tinggal di sini
saja dulu, dek. Ikut makan malam bersama kami,” Adi menimbrung.
Risi menyetujui.
“Nah betul itu,” kata Risi. “Jika
berkenan, kita bertiga juga bisa masak bareng-bareng. Gimana, nak Nissa? Kamu
gak keberatan kan?”
“Sama sekali enggak,” respon Nissa.
“aku malah seneng kok, Tante.”
“Kamu bisa masak?” Tanya Risi lagi.
Adi yang menyimak dengan serius, menunggu jawaban Nissa penuh penasaran. Nissa
tersenyum. “Alhamdulillah, bisa.”
“Masya Allah,” Adi berseru takjub.
Risi pun mendelik ke arahnya, meminta agar
anaknya itu menjaga sikap lewat sorot mata. Adi langsung mengatup bibirnya.
Lalu Adi memandangi Sang Ibu yang kini mengusap lembut kepala Nissa.
“Selain cantik, kamu pintar masak ya.
Pasti Mamah kamu bangga sekali.”
Pipi Nissa merona. “Ih Tante.”
Risi tersenyum lebar. Ketiganya pun
terlibat perbincangan ringan. Tanpa mereka sadari, di atas sana, tepatnya tidak
begitu jauh dari anak tangga, seseorang memperhatikan mereka. Dia Hamzah,
laki-laki itu hanya diam menyaksikan kebahagiaan kecil keluarganya, hanya
karena kehadiran gadis kecil seperti Nissa.
***
Hamzah memijit pelipisnya ketika
merasa pening mulai melanda.
Berada di depan laptop berjam-jam,
cukup membuat laki-laki itu pusing. Sehingga Hamzah harus menjeda pekerjaannya.
Hamzah pikir, dia butuh sesuatu yang dapat membuat benaknya kembali fresh.
Ah, Hamzah butuh kopi.
Hamzah meninggalkan kamarnya menuju
dapur. Hamzah tiada hentinya menghembuskan napas karena lelah juga menderanya.
Namun, langkah Hamzah seketika terhenti saat dari jaraknya berdiri, dia bisa
melihat dengan jelas dua anak muda yang sedang bercanda. Nissa dan Adi, di
depan sana tengah melempari tepung ke masing-masing lawannya.
“Stop, Nissa. Nanti wajah saya makin
jelek nih gara-gara tepung.”
“Biarin, lagian siapa suruh kotorin
kepala aku duluan? Rasain balesanku.”
Sedangkan Sang Ibu terkekeh geli
menyaksikan semua itu, sembari mengaduk adonan kue. Hamzah mematung. Laki-laki
itu terhipnotis pada kebahagiaan Adi dan Nissa. Dia bisa…. Dia bahkan bisa
mendengar suara gadis itu yang tertawa lepas, seolah tidak ada beban satu pun
yang bercongkol di dalam dirinya. Lalu Adi…. Adiknya tersebut jelas tak
menyembunyikan rasa senangnya karena dapat bercanda dengan perempuan yang
diidam-idamkan sejak lama.
Meski tidak ada sentuhan fisik, tetapi
siapa saja yang melihatnya, akan iri karena kedua manusia itu terlihat romantis
namun masih dalam batasan yang dibilang wajar. Kemudian Risi, pasti beliau
bahagia sekali karena pasalnya, Si putra bungsu akhirnya mulai ada kemajuan
untuk lebih dekat dengan Nissa.
Hamzah yang tidak ingin mengganggu kegiatan
ketiganya, membatalkan niat untuk membuat kopi. Hamzah memutar tubuh, ingin
kembali ke kamarnya saja. Namun, suara Ibunya yang terdengar, lantas
menghentikan dia.
“Loh, Ham. Pekerjaan kamu sudah
selesai, nak? Kalau iya, sini gabung dengan kami. Kita masak bareng.”
Hamzah mematung.
Bila dia mengiyakan ajakan Ibunya, dia takut terjebak suasana canggung sebab harus menyaksikan candaan di antara adiknya dan Nissa.
Komentar
Posting Komentar