Ke- Gap

Hamzah memukul stir dengan geraman yang tertahan. Kemudian laki-laki itu memandangi sosok Aldo dari balik kaca mobil. Aldo yang masih saja berdiri di depan gerbang dengan senyum mengejek yang ditujukan kepadanya.

Merasa kesal, Hamzah pun segera hengkang dari sana. Dan teringat tujuan awalnya adalah Nissa, Hamzah menaikkan kecepatan laju mobilnya untuk menyusul ketertinggalan gadis itu. Dia berhasil menemukan Nissa.

Tepat satu blok sebelum mencapai rumah gadis itu, dia melihat Nissa di depan sana yang sibuk mengayuh sepedah. Hamzah kembali menaikkan kecepatan. Saat sudah dekat, Hamzah lantas menekan klakson, berniat memberi kode agar gadis itu berhenti. Mata Hamzah terasa ingin keluar tatkala dia mengetahui bahwa ulahnya tersebut justru membuat gadis itu terkejut dan tiba-tiba saja dirinya oleng hingga….

“Astagfirullah!” Hamzah memarkirkan mobilnya dan buru-buru membuka pintu untuk menghampiri sosok Nissa yang baru saja tersungkur di pinggir jalan.

Tiba di hadapan gadis itu, Hamzah berlutut dengan satu kaki. Hamzah memperhatikan Nissa yang tampak sibuk meniupi luka pada telapak tangannya yang lecet.

“Maaf karena saya sudah….”

“Jalanan di sinikan luas. Kenapa Mas malah meminta saya menying…” Nissa menoleh dan lantas melanjutkan ucapannya dengan suara lirih, “….kir.” matanya terbelalak sewaktu tahu bahwa pelaku yang sudah mengejutkannya adalah Hamzah.

Nissa memekik. “Kak Hamzah?”

Hamzah menghela napas. “Luka itu harus lekas diobati biar tidak infeksi. Kamu ikut saya sekarang ke rumah, ya? Ada Ummi, kok. Nanti saya minta bantuan beliau untuk urus kamu. Mari, dek.”

Hamzah bangkit dan meraih sepedah Nissa. Hamzah melipat sepedah gadis itu lalu hendak membawanya ke bagasi. Akan tetapi, Nissa memblokir jalannya. “Kembaliin sepedah aku, Kak!” ketusnya.

Hamzah tercengang tak paham. “Ya?”

“Sini’in! Nissa merebut paksa sepedanya tak peduli pada tangannya yang tambah sakit saat menyentuh benda keras tersebut.

Hamzah menahannya dengan kekuatan yang dia punya. “Di rumah kamu lagi gak ada siapa-siapa. Tengku bilang hari ini dia juga lembur. Sebaiknya kamu kerumah saya dulu. Pastikan luka….”

“Gak usah sok peduli sama gua!”

Hamzah memicingkan mata. Dalam sekali tarikan, Nissa berhasil merebut sepedanya. Gadis itu pun membuka lipatan benda itu kembali sewaktu Hamzah bergeming saking terkejutnya atas apa yang dia dengar.

Nissa membentaknya?

Apa ini Cuma mimpi?

“Gak usah sok kaget!” ucapan Nissa selanjutnya seperti menampar Hamzah. Apa yang sedang terjadi, jelas bukan mimpi! Hamzah menatap tidak percaya Nissa yang kini tersenyum sinis padanya.

“Kayak yang lo bilang pagi tadi, gua ini emang pembangkang. Gak punya attitude, juga nakal,” kata Nissa dengan berapi-api sembari menaiki sepedanya dan menatap Hamzah dengan nyalang. “bilang sama Kak Adi, sebaiknya dia batalin niatnya untuk lamar gua. Gua sadar diri, gua gak pantas jadi pendamping dia atau pun anak-anak dari keluarga Alfarisi yang terhormat! Yang menjunjung tinggi attitude. Karena kepribadian gua ini jauh banget dari cerminan shalihah. Suka banyak omong dan paling susah diatur! Jadi tolong laporin hal ini ke Kak Adi sebagaimana lo udah aduin hubungan gua dan Aldo ke Kak Tengku. Kak Hamzah bisa kan bantu jelek-jelekin gua di depan Kak Adi?”

Nissa mendengus. “Thanks kalau lo mau bantu.”

Napas Hamzah tertahan. Dia tidak bisa mengeluarkan suara apa pun untuk membalas ucapan Nissa. Dia membiarkan gadis itu pergi begitu saja, tanpa ada kalimat pamit atau basa-basi lainnya. Hamzah memutar tubuh tatkala Nissa melewati dirinya yang baru saja diberi surprise.

Hamzah memandang heran punggung Nissa yang mulai menjauh. Hamzah memegangi dadanya yang berdetak cepat. Gadis itu…. Kenapa berani sekali membentaknya? Apa Hamzah sudah membuat Nissa jadi membencinya sehingga Nissa menjadi lancang seperti itu?

Hamzah memijat pelipis.

Dia sungguh tidak mengerti atas apa yang terjadi. Namun laki-laki itu bisa mengambil kesimpulan dari perkataan tersebut. Yakni, akhirnya Hamzah menyetujui ucapan adiknya.

Adi benar. Nissa itu memang unik. Sebagai perempuan, Nissa terlalu blak-blakan. Dan dia juga…. Berhasil membuat mood Hamzah yang sempat anjlok karena ancaman Aldo, kini meningkat pesat.

Melihat murkanya Nissa, entah kenapa perasaan Hamzah jadi tergelitik. Ternyata, gadis ceria dan tengil itu…. Bisa marah juga, ya?

Dan marahnya pemudi seperti Nissa, bukannya membuat Hamzah tersinggu, entah kenapa, bagi Hamzah justru malah terasa lucu meski pada mulanya menegangkan.

***

Nissa memanyunkan bibir dan menghela napas panjang. Lalu gadis itu terduduk memeluk lutut sembari menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Nissa mendongak menatapi langi-langit kamarnya. “Pantesan emosi gua hari ini gak terkendali banget,” Nissa menyengir dengan kikuk. “ternyata detang bulan.”

Nissa membayangkan insiden siang tadi. Wajahnya berubah merah padam. Cengiran lebarnya perlahan memudar seiring rasa malu datang tanpa diundang. “Tapi Kak Ham kan gak tahu kalau itu efek PMS aku. Yah, terus gimana dong? Malu banget nih jadinya. Gak punya muka lagi deh buat ketemu doi. Kamu sih, kenapa mesti marah-marah gak jelas kaya begitu? Untung gak ada orang lain yang lihat. Bisa mampus kamu kalau di sangka gila sama warga. Duh, terus habis ini aku harus ngapain? Minta maaf ke dia gitu? Lalu kasih alasan dengan bilang di siang bolong tadi, aku gak sengaja kesambet setan? Ih, gak mungkinlah ya. Bukannya maklumi, nanti Kak Hamzah malah ilfeel sama aku. Bisa-bisa predikat aku di matanya nambah satu; disangka sebangsa sama Jin karena di siang bolong aja mudah dirasuki.”

Nissa menepuk pelan keningnya. “Ih amit-amit deh.”

Kemudian, Nissa pun terlibat perang batin. Nissa dilemma antara ingin memperbaiki hubungan dengan Hamzah atau tidak usah.

***

Pada akhirnya… dia memilih untuk mendatangi kediaman Alfarisi.

Melihat rumah di hadapannya yang tampak sepi, Nissa jadi ragu. Gadis itu menggigit bibirnya dan bergumam, “Pulang aja kali ya?”

Nissa Mengetuk jemarinya pada dagu. Ia memperhatikan gerbang yang menjulang tinggi di depannya.

“Kapan-kapan aja deh aku minta maafnya. Di hadits kan larangan marahan sesama muslim itu dibatasi tiga hari tuh. Dan sekarang baru hari pertama. Masih nyisa dua hari lagi buat nyambung tali silaturahmi. Oke fix, lusa aku bakalan datang ke sini….”

“Jika ada waktu sekarang, kenapa harus ditunda-tunda sampai lusa, dek?”

Tubuh Nissa pun seketika menegang saat suara bariton itu memotong ucapannya. Nissa menggigit bibir bawahnya saat gadis itu membalikkan tubuh dengan mode slow. Napas Nissa tertahan kala ia mendapati sosok Hamzah yang tengah memandanginya dengan alis menukik tajam. Nissa tak bisa menahan diri untuk cengengesan menutupi kegugupannya karena ke-gap laki-laki yang berniat dia hindari itu.

“Ehehehe, aya A’Hamzah. Habis dari mana, A’?”

“Kamu ngapain di depan rumah saya? Mau minta maaf atas kejadian tadi?”

Nissa tertegun. Tetapi di detik selanjutnya, gadis itu memasang muka polos. “Maaf, kejadian apa ya?”

Hamzah melipat kedua tangan di dada. Hamzah mengerutkan dahi. “Jangan pura-pura mendadak amnesia.”

Nissa memegang kepalanya dan mengeluh. “Aduh, sakit kepala. Kak Ham, aku teh pamit dulu ya. Mau istirahat. Nanti kalau sudah sembuh, Inshaa Allah aku kesini lagi. Assalamu’alaikum, “Nissa melintasi Hamzah. Ia hendak pergi dari kediaman laki-laki itu. Namun….

“Setelah marah-marah gak jelas ke saya, kamu pikir saya bakal diam saja, ya?”

Nissa menelan saliva saat Hamzah menarik tasnya hingga dia tidak bisa kabur begitu saja. Hamzah menahan diri untuk tidak tersenyum karena merasakan aura ketakutan Nissa kepadanya. Gadis itu, memang unik dan cukup lucu untuk dijadikan hiburan tersendiri.

“Saya tidak akan mengizinkan kamu pergi lagi, Nissa. Ayo masuk!”

Hamzah membuka gerbang.

“E-eee ta-tapi…. “Nissa mencoba meraih-raih udara dengan sorot mata memohon supaya dia bisa pergi kala Hamzah menariki tas yang ia gendong sampai dirinya ikut terseret.

“Saya butuh penjelasan kamu mengenai insiden aneh tadi siang.”

Komentar