Sepenggal Kisah Kelam
Hanya mendengar kalimat akhir dari
laki-laki yang di idamkannya, Nissa pun menjadi kesal. Setelah terjadi keheningan
beberapa saat dengan memandangi sosok Hamzah begitu seriusnya, Nissa yang
sedang di kuasai emosi itu pun nekat menunjukkan sikapnya yang pembangkang
terang-terangan.
Pasalnya, Nissa kembali mengayuh
sepedah dan hampir saja menabrak Hamzah bila mana laki-laki itu tidak sigap
menyingkir ke pinggir jalan. Hamzah dan Tengku yang mendapati Nissa telah
hengkang dari hadapan mereka, membulatkan matanya tidak percaya. Ketika Hamzah
hendak mengejar, Tengku lebih dulu menahan pergelangan tangannya.
“Tidak usah, Ham,” ujar Tengku. “adik
saya, kalau ngambek kayak gitu, gak mau di ganggu dulu. Kamu juga gak perlu
marasa bersalah. Apa yang tadi kamu bilang memang ada benarnya. Nanti kalau
Ummi dan Abi sudah pulang, saya akan meminta Ummi memberi adik saya pengajaran
khusus soal attitude. Omong-omong, mengenai pilihan Adi, kamu serius, Ham?”
Hamzah mengangguk. “Iya. Kami
sekaluarga telah membicarakan hal ini. Dan keputusan Adi sudah bulat. Dia
berencana ta’arufan dengan adik kamu enam bulan mendatang.”
Tengku tersenyum lebar.
“Alhamdulillah. Senang sekali bisa punya besanan dengan keluarga Alfarisi.
Tetapi, meski begitu, saya tidak dapat menjamin apakah Nissa akan menerimanya
atau tidak. Seperti yang kamu tahu sendiri, walau saya suka mengatur hidup adik
saya, saya tetaplah Kakaknya yang tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan
adik saya. Untuk pertemanan, mungkin masih bisa di katakan wajar bilamana saya
mencagah dia bergaul dengan ini dan itu, namun untuk masa depannya, seperti
calon suami, saya tidak akan menghalangi dia. Siapa pun pilihannya kelak, jika
calon adik ipar saya adalah laki-laki sholeh, saya bakal menyetujuinya.”
Hamzah membalas senyum Tengku tak kalah
lebarnya. “Iya. Adi bilang, dia juga sudah siap menerima konsekwensi penolakan
bilamana hal itu terjadi. Tetapi, mudah-mudahan saja, Nissa dibukakan pintu
hatinya untuk menerima kehadiran adik saya.”
“Aamiin,” Tengku menepuk bahu
sabahatnya. “kalau mengenai doa, Inshaa Allah saya selalu bantu. Oh iya, btw
kamu ada keperluan apa pagi-pagi bertandang ke rumah, Ham?”
“Tadinya mau mengajak kamu dan Nissa
pergi bareng.” Jawab Hamzah. “kebetulan hari ini jadwal kerja saya tidak begitu
padat. Jadi bisa untuk mengantar-jemput kalian hitung-hitung sebagai calon
besanan. Tetapi mengingat masalah tadi...”
Tengku meremas pelan bahu Hamzah. Lalu
Tengku memotong ucapannya, “Maaf nih sebelumnya, Ham. Saya tidak bisa pergi
bareng. Hari ini saya lembur. Akan tetapi, kalau kamu ada niat untuk
memperbaiki suasana hati adik saya, saya saranin sebaiknya kamu menemuinya lagi
sepulang sekolah. Ajak saja dia basa-basi, Inshaa Allah dia bakal kembali
kesediakala kok. Soal sikap yang mudah tersinggung dan ambekan, mohon dimaklumi
ya. Namanya juga msaih anak-anak.”
***
Nissa menenggelamkan wajah pada
punggung kokoh Aldo dan memeluk erat pinggang laki-laki itu. Kali ini mereka
pergi menggunakan motor dengan Nissa yang di bonceng Aldo. Nissa menarik napas
dalam-dalam. Sejak kejadian tadi, Nissa jadi tidak begitu semangat ke sekolah.
Rasanya dia ingin mengurung diri saja di kamar.
Aldo yang menyadari kejanggalan
sahabatnya, mencoba untuk memulai percakapan. Dari balik helm yang ia kenakan,
Aldo berkata dengan intonasi yang cukup keras, “Bawel, lo kenapa dari tadi diam
aja sih? Apa jangan-jangan Bang-Teng marahin lo karena nekat pergi bareng sama
gua, ya? Tahu gitu, mending gak usah dipaksa. Dari pada harus kejebak di
situasi kaya gini. Sumpah, gak enak banget rasanya berhadapan sama lo yang
pendiam.”
“Ih Aldo apaan sih. Gua gak apa-apa
kok. Cuman lagi malas ngomong aja.”
Dari pandangan Aldo, sepertinya Sang
sahabat memang sedang badmood. Itu terasa jelas setibanya mereka di tempat
tujuan. Tidak lama usai Aldo memarkirkan motornya, Nissa segera turun dan
menyerahkan helm lalu meninggalkan Aldo begitu saja tanpa bicara apa pun lebih
dulu.
Di kelas pu, Nissa banyak diam. Bahkan
disaat istirahat, gadis yang biasanya hobi makan tersebut, menjadi tidak
nafsuan. Aldo yang tak kuasa melihat Nissa begitu. Memilih mencari tahu setelah
mereka pulang sekolah. Saat Nissa mengulurkan tangan untuk meminta helm, Aldo
justru meraih tangan itu dan menggenggamnya. Nissa yang risih sebab tidak ingin
di ganggu, mencoba melepaskannya. Tetapi Aldo menahan.
“Lo lagi kenapa sih? Cerita-cerita ke
gua sini. Kalau ada masalah, gua siap bantu lo. C’mon, jangan kaya gini dong.
Lo bikin gua khawatir tau!”
“Gua gak mau cerita apa pun,” kata
Nissa dengan kesal. “lepasin tangan gua atau gua pulang sendiri?”
“Oke,” Aldo yang tidak mau Nissa
pulang sendirian dengan naik angkutan umum, lantas melepas genggamannya. “lo
simpan aja dah itu masalah. Tapi kalau nanti kiranya lo udah gak kuat lagi, lo
boleh datang ke gua. Gua bakal ada kapan pun lo butuhkan. Jadi jangan pikir lo
cuman sendirian di dunia ini.” Kemudian Aldo memakaikan helm pada Nissa yang
membisu.
“Ayo naik,” ujar Aldo.
Nissa yang tersadar, lantas
mengerjapkan matanya. Gadis itu pun naik ke atas motor sport Aldo. Nissa
memeluk laki-laki itu erat dan menyandarkan kepalanya ke punggung Aldo. Saat
motor yang ia tunggangi mulai melaju, Nissa memejamkan mata guna menetralisir
pikirannya yang carut-marut.
Motor itu pun melenggang melewati
pekarangan sekolah. Tanpa keduanya sadari, sejak tadi ada sepasang mata yang
memperhatikan mereka. Sosok itu berada di dalam sebuah mobil hitam yang
terparkir tidak jauh dari parkiran motor. Dialah Hamzah, laki-laki yang rela
meminta izin untuk pulang cepat hanya demi menemui Nissa guna memperbaiki
hubungan kacau mereka hari ini.
Tetapi, saat melihat Nissa dan Aldo
yang begitu lengket, entah kenapa rasa bersalah Hamzah menguap tanpa sisa.
Jadi, untuk apa dia merasa bersalah sudah mengatur gadis itu kalau nyatanya
Nissa memang pembangkang yang tidak mencerminkan attitude seorang muslimah?
Bukankah wajar bilamana Hamzah menginginkan adik iparnya yang baik-baik atau
shalihah?
Tadinya Hamzah ingin memberi tahu
tabiat Nissa yang seperti ini pada Adi juga. Namun mengingat dia yang tidak mau
hubungannya dengan sang adik jadi kacau, Hamzah hanya menceritakannya pada
Tengku saja. Karena seberapa keras Hamzah menceritakan keburukan Nissa pada
adiknya, Adi pasti tetap membela gadis itu.
Hamzah mencengkram stirnya dan
memutuskan mengikuti mereka.
***
Sesampainya mereka di rumah Aldo,
Nissa langsung bersiap untuk pulang. “Hati-hati di jalan ya, bawel? Atau lo mau
gua anterin aja sampai rumah? Sini gua boncengin, nanti masalah gua pulangnya
pakek apa, gua bisa kok jalan kaki,” ujar Aldo tatkala Nissa mulai menaiki
sepedahnya. Nissa menggelengkan kepala. “Gak usah.”
Mendengar nada sedikit ketus dari
mulut sabahatnya, Aldo menghela napas. “Yaudah, hati-hati.”
Nissa mengangguk. Setelah itu, Nissa
pun hengkang dari pekarangan rumahnya. Aldo menatap sedih Nissa. Usai kepergian
gadis itu, Aldo berniat masuk kedalam rumah. Akan tetapi, bersamaan dengan Aldo
yang hendak berlalu, suara seseorang yang terdengar dari belakang, menghentikan
niatannya.
“Jauhi Nissa.”
Dua kata tersebut mampu membuat Aldo
reflek membalikkan tubuhnya dengan cepat. Dahi Aldo mengkerut sewaktu mendapati
sosok Hamzah.
Loh, bagaimana bisa laki-laki itu ada
di sini? Menoleh sedikit, Aldo melihat ada sebuah mobil hitam yang terparkir
tidak jauh dari rumahnya. Jadi, yang tadi memarkirkan mobil tak lama usai dia
tiba di rumah, adalah Hamzah? Aldo berpikir, orang itu merupakan tetangganya.
“Lo Hamzah, kan? Ngapain lo ke sini?”
Hamzah mengangkat alisnya. “Sebagai
pemilik rumah, seharusnya kamu menyapa tamu-mu lebih dulu, Aldo.” Ucap Hamzah.
Aldo menarik bibirnya hingga berbentuk
simetris.
“Lo pikir setelah lo minta gua jauhin
Nissa, gua bakal sopan-santun sama lo? Jangan mimpi Bang. Omong-omong ada
kepentingan apa lo ke sini!”
Hamzah memandangi Aldo dengan sangat
lekat, satu-satunya pemuda yang menghuni salah satu rumah di perkomplekan ini
yang telah menunjukan padanya aura permusuhan sejak pertamakali Hamzah datang
ke wilayah tersebut. Lebih tepatnya sih saat Nissa mulai menaruh hati padanya
tidak lama usai Hamzah kembali menjalin persahabatan dengan Tengku karena
mereka pernah belajar di pesantren yang sama saat masih SMA dulu.
“Mungkin ini sedikit menyakiti kamu,
Al. Tapi kamu harus tahu. Meskipun kamu memang lebih dulu mengenal Nissa dari
pada saya, saya mohon sama kamu untuk tidak banyak berharap padanya. Saya tahu
kamu suka Nissa atau bahkan lebih dari itu. Saya laki-laki sama seperti kamu.
Saya jelas tahu kamu menyembunyikan rasa itu dalam balutan persahabatan. Kamu
tidak mau mengungkapnya karena kamu takut dia menjauh, kan? Jadi saya pinta,
sebelum rasa yang kamu miliki itu semakin dalam, sebaiknya kamu kubur
perlahan-lahan. Karena di dalam agama kami, menikah dengan seseorang yang beda
keyakinan, tidak di perbolehkan,” ujar Hamzah panjang lebar. “semoga kamu
mengerti apa yang saya maksudkan.”
Aldo tertawa sinis. “Jangan bilang,
peringatan lo itu karena lo juga suka sama doi, Bang? Well, gua gak akan
nurutin permintaan konyol lo itu. Gua kenal Nissa sudah sejak SD. So, dari pada
ganggu persahabatan kami, mendingan lo urus diri lo sendiri. Gua miris lihat
Nissa bisa jatuh hati sama cowok sok alim kaya lo yang jelas-jelas munafik.
Jangan kira gua gak tahu apa-apa tentang lo, Bang. Mungkin keluarga Nissa gak
ada yang tahu perihal ini. Tapi gua beda Bang. Dulu, jauh sebelum Bokap lo
didepak dari profesinya sebagai aktor, tepatnya sewaktu lo masih SMP, lo pernah
ngobat, kan?”
Hamzah membulatkan mata. Aldo pun
tersenyum tipis... lebih kedapa mengejek. “Kalau penasaran dari mana gua tahu
rahasia kelam lo itu, maka jawabannya ada pada paman gua. Dia salah satu polisi
yang pernah ringkus lo. Polisi yang disogok Bokap dan Nyokap lo untuk tutup
mulut dari publik perihal kenakalan putranya. Karena waktu itu, bokap lo lagi
naik daun dan popularitasnya yang meningkat, memaksanya harus lepas dari
kontroversi. Sekecil apa pun. Dengan uang sebagai alatnya, kan?”
Napas Hamzah tertahan.
Aldo kian melebarkan senyumannya.
“Karena itulah, waktu pertama kali
kita ketemu, gua udah gak suka sama lo. Oh ralat, Bang. Lebih tepatnya, saat
cewek yang gua cinta sejak lama itu, mengaku naksir sama laki-laki macam lo.
Dengan ini, gua bakal balik ngancam lo, Bang. Kalau sekali aja lo berani
nyakitin Nissa, bikin dia nangis, gau gak akan segan-segan bikin nama baik Alfarisi
tercemar. Walau udah bertahun-tahun, paman gua masih punya bukti mengenai kasus
lo itu. Semoga lo paham apa yang gua maksud,” Aldo sengaja meniru kalimat
terakhir Hamzah untuk meledek laki-laki yang di bencinya itu.
Dan hal tersebut berhasil membuat seorang Hamzah Alfarisi yang selama ini terkenal menasehati seseorang, bungkam seketika.
Komentar
Posting Komentar