Rencana Nikah


Alfa manatap serius anak sulungnya yang tangah sarapan. “Jadi, kapan kamu mau kenalin calon makmum-mu itu, Ham? Kamu gak berencana menikah setelah Adi, kan? Maksud Abi, kamu sudah pasti tahu sendiri bahwa budaya seorang adik dilarang melangkahi Kakaknya dalam urusan menikah itu, masih kental sekali di negara kita ini. Nah, Abi harap sih kamu menikah lebih dulu ketimbang Adi. Menghindarkan diri dari problem yang bertentangan dengan hukum masyarakat. Abi tidak mau kamu tertekan jika kamu menerima olokan-olokan masyarakat yang mengataimu bujang lapuk karena kebalap adikmu.”
Hamzah menelan makanannya. Laki-laki itu menatap Alfa, Risi, dan Adi bergantian. Kemudian fokusnya pun tertuju pada Sang Ayah. Lalu Hamzah berucap “Di dalam Al-Quran maupun Hadits, tidak ada larangan seorang adik untuk menikah duluan atau melangkahi kakaknya. Selama tidak bertentangan dengan hukum Islam, Ham gak masalah bila Adi mau meminang perempuan yang dia suka lebih dulu. Abi juga tahu kan bahwa Islam menganjurkan kita agar pernikahan tidak ditunda-tunda. Budaya negara kita itu hanya dalih untuk menjaga parasaan Kakaknya. Dan Ham sama sekali tidak keberatan kalau Adi ingin mendahului.”
“Lo serius, Kak?” “Gak lagi bercanda kan?” tanya Adi yang lantas diangguki oleh Hamzah dengan mantap.
“Seriuslah, dek.”
“Kalau begitu, Adi mau mempercepat ta’aruf-nya saja, Abi, Ummi. Soal ditolak karena siap gak siapnya bakal makmumku, itu urusan nanti. Kalau memang berjodoh, Inshaa Allah proses menuju akad tidak akan berbelit,” Adi memperhatikan kedua orang tuanya.
Risi tersenyum. “Benar kamu mau di percepat saja? Ummi sih setuju. Lagi pula Kakakmu sendiri sudah mengizinkan, alias tidak keberatan.”
“Ham tidak mau jadi penghalang kebahagiaan Adi, Ummi,” ucap Hamzah.
Alfa menghembuskan napas lega. Putra sulungnya itu rupanya sudah berpikiran dewasa. Hamzah membuat ia bangga. “Yasudah, jadi kapan kamu mau mengadakan ta’aruf, Di? Biar Abi dan Ummi membantu kamu mengurus segalanya. Abi semangat begini gak ada maksud ingin ngusir kamu dari rumah. Abi hanya tidak sabar untuk menggendong cucu, Di.”
Wajah Adi memerah mendengar keinginan besar Alfa. Hamzah terkekeh dan mengangguk setuju. “Gua juga sama Di. Gak sabar mau main sama keponakan. So, kapan ta’aruf nih?”
“Bagaimana kalau ta’arufnya dilakukan enam bulan mendatang? Dan akadnya setelah Nissa lulus sekolah,” usul Adi.
“Yang penting kamu sudah siap, Di. Abi dan Ummi mengikuti saja. Makin cepat makin bagus,” respond Risi.
Alfa membenarkan. “Betul itu, Di.”
“Inshaa Allah kalau soal siap mah, Adi tidak main-main. Bahkan lebih dari itu kok,” Adi menarik bibir. “Adi mau membina rumah tangga supaya dapat memenuhi impian Abi dan Ummi.”
“Kami percaya sama kamu,” Risi berkata lembut. “Adi pasti mampu untuk membangun rumah tangga yang samawa. Bukan hanya sekedar ingin mewujudkan harapan kami untuk secepatnya menimang cucu. Karenanya, Ummi dan Abi selalu mendukung keputusan Adi. Kami percaya kamu sudah sedewasa Kakak kamu, Di. Jadi kami melepaskan kamu.”
Perasaan Adi membuncah senang sampai rasanya ia sulit bernapas.
***
Setalah menumis bumbu, Nissa pun memasukkan kangkung yang telah direndamnya ke dalam wajan. Gadis itu mengaduknya dengan spatula. Setalah merasa tingkat kematangannya cukup, Nissa mematikan kompor dan lantas menuang masakannya ke wadah yang telah ia siapkan di table top kabin.
Kemudian gadis itu membawanya menuju Tengku yang duduk menunggu di ruang makan. Nissa pun meletakan wadah tersebut ke atas meja makan. Selanjutnya ia menarik kursi dan duduk menghadap Tengku yang sedang menghirup aroma masakan adiknya.
“Wih, mantap nih. Bikinan kamu itu selalu harum. Senangnya punya adik yang bisa masak,” puji Tengku.
Nissa tersenyum malu-malu.
“Kakak teh bisa aja ih,” Nissa mengambil piring dan menyendokan nasi untuk Tengku. Tak lama kemudian, ia memberikan piring itu pada Sang Kakak yang manarik bibirnya.
“Bahkan dilayani,” kata Tengku. “harus berterima kasih ke Ummi setiap hari nih. Karena sudah melahirkan adik sehebat kamu. Oh ya dek, omong-omong kamu mau ke sekolah bareng Kakak, atau naik sepedah lagi saja?”
Kini Nissa menyendokkan nasi untuk dirinya sendiri. “Sepedah aja Kak. Lebih sehat dari pada naik motor. Hitung-hitung bakar lemak hehehe.”
“Niat olahraga atau karena memang mau pergi bareng Aldo ke sekolah?”
Nissa tertegun. “Loh a-aku...”
“Jangan ngeles, Kakak tahu kamu masih saja berhubungan sama anak itu, kan?”
“Eh?”
Tengku tersenyum penuh arti.
Nissa bertanya, “Ta-tahu dari mana? Eh ta-tapi kami gak sedekat dulu lagi kok. Cuman sekedar pergi bareng.”
Tengku tidak menjawab. Tengku memilih menikmati sarapannya. Canggung karena ketahuan oleh Kakaknya dia masih saja berhubungan dengan Aldo, membuat Nissa menyantap makanannya dalam diam. Dua puluh menit usai menghabiskan sarapan, Tengku pun bangkit berdiri untuk menaruh piring kotor ke kitchen sink dan berjalan lagi menghampiri meja makan.
Tengku menutup menu yang belum habis dengan tudung saji. Tengku pun kembali duduk di kursinya dan menatap Sang adik dengan khidmat. “Hari ini, kamu Kakak antar ke sekolah.”
“Loh?” Nissa menghentikan sesi melahap makanannya. Gadis itu melayangkan tatapan protes. “kan Kakak sendiri tadi yang tawarin aku untuk pergi naik apa. Kok sekarang....”
Mendapati Tengku melotot, Nissa pun bungkam seketika. “Berani lawan?”
“E-enggak,” cicit Nissa.
***
Selagi Tengku memanaskan motor, Nissa sibuk memainkan ponsel untuk membalas pesan dari Aldo.
*
Aldo
Bawel, lo dimana?
Nissa
Al, sorry gak jadi pergi bareng
Aldo
Lah kenapa? Gua nungguin loh
Nissa
Kakak mendadak bilang mau anter
Aldo
Yah, kok gitu? Terus gua jalan sendiri? Gak asik lo ah. Males banget dah gua
Nissa
Sorry, gua bener-bener gak bisa
√√
Tidak dibaca. Gadis itu pun mengigit bibirnya. Takut Aldo marah, Nissa memutuskan men-chat Aldo lagi.
Nissa
Al? Mara ya? Gua gak bohong, beneran gak bisa
Yah, Aldo.... bales dong
√√
Al? Dah jalan?
Aldo? Ish, jangan marah dong
Yaudah iya, gua otw rumah nih
Tungguin ya, jangan berangkat duluan
Please read, penting!
√√
Menit berikutnya, Nissa menarik bibir saat Aldo membalas.
Aldo
Gua tunggu.
***
Nissa memasukkan ponselnya kedalam kantong seragam. Gadis itu memperhatikan sosok Tengku yang tidak menyadarinya yang berniat untuk kabur. Dalam diam, Nissa melangkah mendekati sepedahnya yang terparkir di pekarangan. Sesekali, gak apa-apa kalau nakal ya Kak?
Setibanya disana, Nissa menaiki sepedahnya dengan buru-buru hendak mengayuh. Dia merasa  lega karena Tengku belum menyadarinya. Akan tetapi kelegaan Nissa tidak berlangsung lama. Pasalnya, saat gadis itu ingin mengayuh, seorang laki-laki jangkung berdiri menghalangi jalannya. Dan ketika Nissa mendongakkan kepala, gadis itu tertegun melihat siapa pemilik tubuh tersebut.
“Apa yang saya bilang kemarin memang benar kan? Buktinya, adik kamu ini mau kabur untuk ketemu anak itu lagi,” Hamzah mengeraskan intonasi suaranya tatkala berbicara. Tengku yang berdiri membelakangi mereka pun lantas memutar tubuh dan terhenyak kaget.
Tengku menatap tidak percaya, Sang adik yang sudah bertengker di atas sepedah dengan Hamzah yang berdiri memblokir jalannya. Dada Nissa berdetak lebih cepat.
Jadi, yang memeberitahukan soal dia dan Aldo, adalah Hamzah? Bagaimana bisa?
“Kemarin, saya melihat kamu jalan bersama ke sekolah dengan Aldo, kan? Jangan jadi anak nakal, Nis. Kalau Kakak kamu melarang, turuti perkataannya. Jangan jadi adik yang pembangkang. Hati-hati, saya akan mengawasi kamu. Keputusan Adi sudah bulat. Dia memilih kamu untuk bakal makmukmnya. Sebagai Kakaknya, saya ingin memastikan bahwa kamu itu perempuan yang tepat. Yang pantas di perjuangkan adik saya.”
Suasana pun seketika berubah hening.

Komentar