Kedo Penolakan


Hamzah itu sebenarnya baik kok. Cuma karena Si Nissa-nya terlalu agresif nunjukin rasa sukanya, Hamzah jadi ilfeel gitu dan akhirnya doi suka remehin Nissa L

Setelah berpikiri matang-matang, akhirnya Nissa pun memilih untuk memperbaiki semuanya.
Selepas shalat isya, gadis itu langsung membuat puding coklat yang akan ia bawa kerumah Hamzah. Setengah jam usai mendinginkan puding tersebut, Nissa menyusunnya sesuai bentuk dan ukuran hasil cetakan ke dalam tupperware itu ke tas mininya dan segera bergegas pergi.
Sayangnya ia bertemu dengan Tengku yang tengah menonton televisi saat melintas di ruang tengah. Tengku yang tak sengaja melihat adiknya yang hendak keluar pun, bertanya dengan tak santai, “Mau kemana kamu, Dek? Ini udah malam! Jangan kelayapan!”
“Aku teh mau pergi kerumahnya Kak Hamzah. Sekali ini aja ya, tolong izinin aku keluar? Aku janji enggak akan lama-lama, kok. Serius,” ujar Nissa penuh harap.
“Kamu mau ke sana? Emangnya ada keperluan apa?” Tengku sontak bangkit dari duduknya dan menghampiri Nissa dengan raut keheranan.
“Silaturahmi sekalian kasih puding.”
“Kalau cuman silaturahmi, kan bisa besok atau pas hari libur aja,” kata Tengku.
“Ih Kakak…., aku teh udah terlanjur bikin pudingnya,” Nissa lantas memberenggut. “izinin dong, Kak.”
Melihat kejujuran di mata adiknya, Tengku menarik napas. “Yasudah, tapi biar Kakak yang antar kamu, ya?”
“Gak usah,” Nissa menggeleng tidak setuju. “aku jalan sendiri aja, Kak.”
“Dek...”
“Aku bisa jaga diri, Kak. Aku bukan lagi anak kecil,” kata Nissa berusaha meyakinkan Tengku. Ia tidak ingin Tengku ikut bersamanya karena Nissa berniat bicara emapat mata dengan Hamzah untuk meminta maaf secara tidak langsung. Nissa tidak mau Tengku mengetahui niat dia sebenarnya berkunjung kesana.
Tengku mengangguk paham. “Oke.”
“So?”
Tengku mengusap kepala adiknya kemudian mengangguk. “Diizinkan.”
***
Usai melintasi beberapa rumah, Nissa akhirnya tiba di depan kediaman keluarga Alfarisi. Tak menemukan sosok yang biasanya berjaga, Nissa mengucapkan salam sambil berteriak.
“Assalamu’alaikum?”
Seorang satpam yang mendengarnya lantas berlari kecil menuju gerbang untuk membukakan penghalang tersebut. Nissa langsung menunjukan senyum manisnya pada laki-laki paruh baya yang iya kenal dengan nama Ajil. Sosok yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga Alfarisi.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Pak Ajil. “eh Neng Nissa. Sendiri aja, Neng?”
Nissa membenarkan, “Iya, Pak. Eum... Pak. Omong-omong Tante sama Om lagi ada di rumah atau enggak ya?”
“Waduh, Ibu dan Bapak belum pulang Neng. Kenapa memangnya?” tanya Pak Ajil. Nissa mengigit bibir.
“Yah,” Nissa mengeluh. “aku kira mereka udah pulang, Pak. Berarti di dalam rumah cuman ada Kak Hamzah dan Kak Adi aja ya?”
“Betul Neng.”
“Yah.”
“Mau ketemu Bapak dan Ibu?”
Nissa menggeleng. “Enggak sih. Aku mau ketemu Kak Hamzah. Tapi gak mungkin aku masuk ke dalam di saat Tante gak ada. Takut jadi fitnah.”
“Owalah,” Pak Ajil mulai paham. Pak Ajil menunjukan bangku teras, “kalau begitu Neng tunggu saja di sana. Biar saya panggilkan den Hamzah-nya.”
“Ngerepotin gak Pak?”
Pak Ajil terkekeh. “Sama sekali enggak.”
“Hatur nuhun, Pak.”
“Sama-sama, Neng. Saya permisi dulu.”
Nissa mengiyakan. Sesudah Pak Ajil hengkang, Nissa pun berjalan menuju salah satu bangku di taman depan kediaman Alfarisi. Sesuai permintaan Pak Ajil, gadis itu menunggu di sana. Selagi sendirian, Nissa bersenandung pelan sembari memandangi langit yang menampilkan rembulan dengan bintang-bintang yang turut menghiasi.
Nissa tidak tahu sudah berapa lama ia menunggu. Yang jelas, ketika suara bariton sosok yang iya kenal terdengar, gadis itu tersentak kaget dan sontak saja bangkit berdiri.
“Assalamu’alaikum, Dek?”
“Wa....wa’alaikumsalam.” Nissa tergagap. Ia mengerjapkan mata barkali-kali saat mendapati sosok Hamzah yang hanya memakai kaos hitam polos dengan celana jeans senada. Ya Allah....
Nissa tidak menyangka bahwa Hamzah akan jauh terlihat lebih tampan dengan pakaian santai seperi itu. Biasanya, Hamzah kerap memakai kemeja atau pun baju koko. Tetapi saat ini.... Ah, Nissa merasa beruntung sekali karena bisa melihat Hamzah berpenampilan seperti ini.
“Ada keperluan apa, dek?”
Mendengar pertanyaan itu, Nissa mengerjapkan mata dan tersadar dari lamunannya. Mengingat tujuan awal ia datang kemari, Nissa pun buru-buru mengambil sebuah Tupperware dari tas yang dibawanya, kemudian menyerahkan wadah tersebut pada Hamzah. “Aku minta maaf ya kak atas sikapku tadi. Kak Ham ada benarnya. Gak seharusnya  seorang perempuan itu banyak omong. Dan makasih atas tegurannya. Inshaa Allah, aku akan merubahnya sedikit demi sedikit. Oh ya, ini ada cemilan. Tadi aku habis buat puding. Dimakan ya, Kak? Kalau gitu aku mau langsung pulang aja.”
“Makasih,” Hamzah mengambil wadah tersebut. “soal tadi, saya juga minta maaf kalau sekiranya ucapan saya telah menyinggung kamu. Saya begitu demi kebaikan kamu juga. Kelak, kalau misalkan kamu benar-benar menjadi adik ipar saya, setidaknya sudah ada sedikit perubahan pada diri kamu. Dan Adi pasti senang mengetahuinya. Jadi saya mohon, kamu jangan salah paham dulu.”
Nissa bergeming.
Ucapan Hamzah seolah-olah memberikan Nissa sebuah jawaban bahwa laki-laki itu tidak pernah memandangnya sebagai bakal makmum. Nissa meneguk saliva. Detik berikutnya, gadis itu terkekeh canggung. “Ih, A’Hamzah bisa aja sih. Kan yang nanti nikah kita.”
Hamzah berdeham. “Udah larut, dek. Kamu pulang hati-hati di jalan ya. Kakak mau masuk duluan, Assalamu’alaikum.”
Nissa tercengang tatkala laki-laki itu pergi begitu saja meninggalkan dia. Satu yang tercetus dalam benak Nissa adalah, kenapa Hamzah salalu saja menghindari topik pernikahan yang kerap Nissa angkat?
Dan Nissa sama sekali tidak tahu bahwa yang tadi itu adalah penolakan halus Hamzah terhadapnya.
***
“Doi udah pulang, Kak?”
Suara Adi menghentikan langkahnya. Hamzah membalikkan tubuh menghadap sosok adiknya yang sibuk menekan tuts pada laptop. “Udah.”
Hamzah menghampiri Adi. Laki-laki itu menaruh tupperware yang di berikan Nissa ke atas meja. Adi yang tidak paham, mendongakkan kepala dan menatap kakaknya penuh tanya.
Hamzah berucap, “Puding dari doi.”
“Lah, kan dia ngasih buat lo?”
Hamzah tersenyum. “Sayangnya gua gak suka yang manis-manis. Gua terima karna gua menghargainya aja. Lagian juga, itu kan bikinan bakal makmum lo. Dihabisin ya Di.”
Adi terkekeh. “Terserah lo deh kak. Btw, serius buat gua nih ya?” tanya Adi sekedar memastikan. Hamzah pengangguk cepat. “Iya, dek.”
“Thanks.”
“sama-sama. Gua naik keatas dulu.”
“Oke, Kak. Sekali lagi thanks atas pudingnya.” Ujar Adi. Hamzah lantas menganggukkan kepalanya. “sip.”

Komentar