Type Wanita

“Festival ini bertujuan untuk mendidik anak-anak sejak dini agar mengenal lebih jauh tentang agama,” Hamzah meneguk segelas air mineral. “Dengan begitu…. Inshaa Allah mereka bakal jadi generasi-generasi yang sangat membanggakan.”
Tengku menganggukkan kepalanya tanda paham. “Bagus itu. Di jaman ini, anak–anak yang membanggakan itu sudah hampir punah, kerena mereka lebih suka mengenal teknologi dari pada mendalami agama. Memang tidak semuanya teknologi itu hanya mengandung unsur negatif, tetapi kebanyakan anak yang sudah paham cara menggunakan media sosial, otak polos mereka telah tercemari oleh hal-hal yang seharusnya tidak mereka ketahui sebelum waktunya.”
“Itulah pentingnya kita mengadakan acara-acara seperti ini,” ujar Hamzah.
“Iya. Btw, lombanya apa saja?”
“Fashion show muslimah. Hafalan surat pendek. Cerdas cermat, dan adzan.”
Hamzah dan Tengku masih saja terlibat percakapan seputar festival tersebut. Sedangkan Nissa mulai mati kutu. Sejak tadi dia hanya diam guna menyimak keduanya. Dan sekarang dia mulai bosan. Nissa pun mengedarkan pandangannya. Gadis itu mencari kesibukan sendiri. Namun sayangnya, suara lain yang tidak begitu asing, terdengar di antara mereka.
“Assalamu’alaikum?”
Nissa, Hamzah, dan Tengku lantas menoleh. Mereka mendapati tiga orang yang tengah tersenyum. Mereka tidak lain tidak bukan adalah kedua orangtua Hamzah serta si bungsu, Adi.
“Wa’alaikumsalam.”
“Tengku dan Nissa’ kan?” Tanya Risi.
Kakak-beradik itu pun membenarkannya, “Iya, Tante.”
“Kok sudah jarang mampir ke rumah? Kalian lagi pada sibuk?” kali ini yang bertanya adalah Alfa, Ayah Hamzah dan Adi.
“Iya, Om,” respond Tengku. “akhir-akhir ini saya lagi banyak kerjaan di kantor. Kalau Nissa sibuk sekolah.”
“Sekarang sudah kelas dua belas ya? Berarti dikit lagi kamu ujian dong, Nis? Setelah lulus ada rencana mau kuliah atau kerja?”
“Kuliah kayaknya, Tante.”
Adi bertanya, “Kenapa gak kerja saja, Dek? Kamu’kan pintar dalam hitung-hitungan, bisa kali jadi staff keuangan di perusahaan saya?” Adi tersenyum.
Nissa terkekeh. “Aduh gimana ya kak, belum ada pengalaman kerja.”
“Ya karena itu, saya memberikan kamu kesempatan untuk cari pengalaman.”
“Alah, modus kamu, Di,” kata Hamzah sambil meledeknya. Adi pun tertawa pelan. Kedua orangtua mereka juga Tengku hanya tersenyum memandangi Nissa. Sedangkan yang lagi diperhatikan, justru kebingungan.
“Modus apanya?” Tanya Nissa.
Hamzah mengatupkan bibir sesaat, lalu menggeleng. “Bukan apa-apa, dek.”
Adi melangkah maju mendekati sosok Nissa. Ia berdiri di samping gadis itu dengan jarak yang terpisah tujuh jengkal. Adi menatap orangtua, Tengku dan Kakaknya bergantian.
“Gimana nih, kami sudah cocok belum?” Tanya Adi yang membuat Nissa mengerutkan dahi.
“Sudah,” Hamzah menjadi yang pertama merespond-nya. “cepat-cepat deh kamu bawa dia ke plaminan, Di. Kalau kamu jantan, jangan ditunda-tunda lagi.”
“Gua sih siap Kak, tapi Nissa-nya sudah siap belum?” Adi menoleh pada Nissa yang langsung mebelalakkan mata.
“Apanya?”
“Nikah sama saya,” jawab Adi.
Nissa pun sontak menarik Tengku untuk menjadi pemisah mereka. “Dih, gelo maneh! Aku maunya nikah sama Kakakmu saja. Bukan kamu tahu! Kak Hamzah jelas lebih tampan dan baik,”
“Astagfirullah,” Adi mengelus dadanya berpura-pura sakit hati. “nyesek saya.”
Tengku serta orangtuanya menertawakan. Mereka tidak habis pikir atas kepolosan Nissa dalam mengungkapkan pandangan terhadap Adi. Hamzah cuman tersenyum tipis mendengarnya.
“Kenapa gak mau sama Adi?” Tanya Alfa dengan geli.
“Karena aku cintanya sama Kak Hamzah, Om.” Jawab Nissa.
“Kecil-kecil sudah membahas soal cinta saja kamu. Memangnya kamu paham apa itu cinta?” ledek Risi diselingi tawa. Nissa mengerucutkan bibir merasa kesal.
“Jelas tahu, Tante. Buktinya aku bisa tertarik sama Kak Hamzah,” jawabnya.
“Tertarik sama cinta itu beda loh.”
“Ih Tante. Bagiku itu sama sa…”
“Sudah-sudah,” Hamzah melerai. Lebih kepada malas mendengar ucapan Si adik sahabatnya yang blak-blakkan. Ia tersenyum pada mereka. “acaranya sebentar lagi mau dimulai, tuh.”
***
“Kayanya doi suka sama lo beneran deh, Kak,” ujar Adi. Adi menatap Kakaknya yang tengah memainkan ponsel. Hamzah menoleh pada Adi dan berkata dengan tenangnya, “Kan yang penting guanya enggak, Dek. So, jangan khawatir, gua gak bakal rebut dia kok.”
“Memangnya kenapa toh Ham kamu tidak suka sama dia?” Tanya Sang Ibu yang berada di kursi depan.
“Hamzah gak suka cewek muda, Ummi.”
“Terus kamu maunya nikah sama janda?” Alfa angkat suara.
“Ya gak gitu juga Abi,” Hamzah pun terkekeh. “Ham ingin punya istri yang sikapnya dewasa saja. Biar dia bisa mengimbangi sikap Hamzah.”
Hamzah memang tidak berdusta soal dia yang tidak menyukai sikap anak-anak di diri Nissa. Tetapi dia memiliki alasan lain yang tidak bisa diberitahukan ke keluarganya. Yakni mengenai Nissa yang masih jauh dari kata shalihah.
“Loh, dulu saat abi menikahi Ummi kamu, Ummi kamu masih kaya Nissa, Ham. Awalnya Abi sedikit ragu untuk menjadikan Ummi istri. Tetapi setelah berumah tangga, Abi tidak pernah menyesalinya. Seru gitu, Ham. Sikap kekanak-kanakkan Ummi suka bikin Abi gemas. Cemburuan, blak-blakan, bahkan sewaktu hamil, itu yang paling berkesan. Kalau enggak diturutin ngidamnya, suka ambekan.”
“Ih Abi bikin Ummi malu saja.”
Alfa tersenyum ke Risi dan Kembali fokus pada jalanan.
“Sayang Hamzah tidak sekuat Abi untuk menghadapi wanita kaya gitu,” ujar Hamzah dengan kalem. “Ham lebih suka yang dewasa. Alhamdulillah juga Hamzah sudah menemukan orangnya.”
“Serius, Kak?” perasaan Adi sangat senang saat mendengar Hamzah sudah memiliki bakal makmum.
“Serius, Dek,”
“Kenal dari mana?” Tanya Risi.
“Dari Tengku, Ummi. Inshaa Allah wanita pilihan Ham shalihah, kok. Beliau rajin hadir di pengajian, kajian, dan suka ikut kegiatan amal,” Hamzah pun tersenyum. “tutur katanya pun sopan.”
“Yasudah kalau begitu. Jadi Nissa bener untuk Adi saja nih ya? Kamu jangan nyesel loh. Nissa itu kayanya beneran naksir kamu. Siapa tahu suatu hari nanti kamu malah naksir dia juga karena sikapnya yang kekanakan,” kata Alfa memperingati.
Hamzah terkekeh. “Gak bakal kok Abi.”
“Awas saja kamu ya, Ham. Jangan sampai kamu menaksir Nissa ketika dia sudah jadi milik adikmu. Ummi bakal minta Abi sunat kamu lagi loh,” canda Risi.
Hamzah tersenyum lebar. “Tidak akan.”
“Tuh Di, Abang kamu sudah berjanji tidak akan menikung kamu. Jadi kira-kira kapan kamu mau mengajaknya ta’arufan? Biar Abi dan Ummi nanti yang mengurusnya. Kamu hanya tinggal memfokuskan diri untuk mengambil hati Nissa. Acara lamaran dan pernikahan biar kami yang urus semua,” kata Alfa. Adi mengulum senyum.
“Ishaa Allah, tahun depan.”
“kalau begitu kamu harus mengambil langkah secepatnya untuk mendekati Nissa. Jangan terlalu sibuk mengurusi perusahaan terus,” ujar Risi kepada Adi. Adi menganggukan kepala.
“Iya, Ummi. Inshaa Allah mulai sekarang Adi bakal sering-sering pulang ke Jakarta,” respond Adi yang menjadi penutup perbincangan mereka. Untuk saat ini boleh saja Nissa mengira ucapannya tadi sewaktu di festival hanya angin lalu. Tetapi Adi berjanji, kelak dia akan membuktikan keseriusannya.

Komentar