Si Penikung di ⅓ Malam
Pukul dua dini hari, Hamzah terbangun
dari tidurnya. Dengan kesadaran yang belum pulih, samar-samar telinganya
menangkap suara Adi yang sedang memanjatkan do’a. hamzah merubah posisinya
menjadi terduduk. Hamzah lantas tersentak kaget melihat sosok adiknya yang
tengah duduk diatas sajadah, di dalam kamarnya. “Loh, dek? Kok lo ada di sini
sih?” Tanya Hamzah serak.
Adi mengakhiri munajatnya. Laki-laki
itu beranjak dan menghampiri Sang Kakak. “Kangen tidur berdua sama lo, Kak.
Jadi semalam gua nginep di sini.”
“Yallah, segala kangen.”
“Maklum,” Adi terkekeh. “Kita jarang
ketemu. Tapi untuk tahun-tahun ini sih, Inshaa Allah Kak gua bakal sering
pulang ke Jakarta. Biar sekalian bisa cari tahu kabar bakal Makmum. Mau deketin
doi sekaligus calon mertua.”
Adi mendaratkan bokongnya di sisi
ranjang. Hamzah berdehem. “Kalau gua boleh tahu, kenapa lo bisa naksir dia,
dek?”
“Untuk suka seseorang gak butuh alasan
sih, Kak. Yang penting gua nyaman sama doi. Gua mulai naksir dia waktu lagi
nganter puding kesini pas kita baru-baru pindahan,” Adi tersenyum mengingat
moment lima tahun yang lalu. “doi perempuan unik. Meski suka blak-blakan, dia
semacam moodbooster. Kebayang kalau nanti dia jadi bini gua…. Hidup gua yang
monoton gini bakal berubah, kak. Lebih berwarna. Malah gua berharap dia gak
bisa masak loh. Jadi nanti biar gua yang ajarin dia semua-muanya. Ngebimbing
dia mulai dari agama, pekerjaan rumah tangga, sampe hal-hal dewasa. Hahaha!
Apaan banget sih gua? Intinya, gua gak sabar pengen bangun sweet moment dalam
mahligai rumah tangga bareng dia. Do’ain semoga sukses ya!”
Hamzah tersenyum sambil menggeleng
tidak mengerti atas keinginan Sang adik. “Adi….Adi. Lo gak mau gitu cari calon
istri yang hafidzah aja? Atau minimal lulusan pondok? Biar gua cariin. Gua
punya banyak kenalan….”
“Gak perlu,” potong Adi. “emangnya
kenapa sih Kak kalau gau sama dia?”
“Ya gak kenapa-napa…. Gua cuman takut
lo gagal bimbing dia. Nanti lo sendiri kan yang dimintai pertanggung jawaban
sama Allah bilamana gak becus ajarin istri.”
“Kak,” kata Adi sembari menatap Hamzah
dengan serius. “kita ini calon-calon pemimpin dalam rumah tangga. Jadi siapa
pun yang menjadi istri kita kelak, itu gak masalah. Kalau missal ilmu agamanya
masih kurang, ya kita harus bimbing, kan? Masalah gagal atau enggaknya, itu urusan
nanti. Yang paling penting adalah usaha kita untuk mengajarkan dia menjadi
pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Memilih bakal Imam jauh lebih
penting dari pada bakal Makmum.”
“Gua pah….”
“Gak,” potong Adi. “lo gak bener-bener
paham. Kebayang gak sih Kak kalau misalnya laki-laki kaya kita gini, maaf nih
ya sebelumnya. Maksud gau, laki-laki yang ilmu agamanya suda cukup baik Cuma
mau memilih wanita shalihah saja sebagai istri? Terus apa gunanya kita jadi
pemimpin, Kak?”
Hamzah terdiam.
“perempuan yang jauh dari kata baik
pun berhak mendapatkan laki-laki seperti kita. Mereka berhak berubah menjadi
pribadi yang lebih baik lagi. Kita sebagai Imam di tugasi untuk membimbingnya.
Kalau semua pria sholeh hanya menginginkan wanita shalihah, maka dunia ini bakal
sesak di penuhi oleh wanita buruk, kan? Para wanita yang kehilangan arah
laksana domba–domba yang tersesat karena
mereka tidak punya pengembala. Sebab Si pengembala lebih memilih beternak
sesuatu yang lebih menguntungkan. Misalkan sapi yang jelas jauh lebih mahal
harganya. Kemudian domba-domba yang diacuhkan, satu per satu mati tanpa
meninggalkan kesan.”
“Sorry, dek. Gua gak bermaksud….”
“It’s okay,” Adi menepuk bahu Sang
Kakak. “gua paham lo gak ada maksud nyinggung calon istri gua. Yang gua gak
suka dari lo cuman satu, Kak. Lo terlalu memilih dan memandang bahwa seorang
pendosa gak berhak mendapatkan jodah Si ahli ibadah. Ingat, Kak. Sebaiknya
Kakak berhati-hati. Jangan sampai semua itu, Kak Ham jadi terkena sifat ujub.
Bahaya. Bahkan Rasulullah SAW saja melamar Shafiyyah yang notabenenya adalah
wanita Yahudi. Beliau menuntun Shafiyyah supaya pribadinya menjadi lebih baik hingga
Shafiyyah bertransformasi sebagai wanita muslimah yang shalihah. Rasulullah
loh, Kak! Yang jelas-jelas kekasih Allah dan penghuni surga firdaus aja gak
pemilih seperti Kakak. Baginda tak muluk-muluk soal jodohnya dan selalu ikhlas
menjalani takdirnya.”
Hamzah tertohok. Adi bangkit dan
melemparkan senyum. “Gua balik ke kamar dulu… Kak. Mau beresin barang-barang
yang masih berantakan di lantai. Assalamu’alaikum.”
Adi pun hengkang, meninggalkan Hamzah
bersama keheningan. Hamzah membalas salam Adi dengan pelan. Laki-laki itu
mengusap wajahnya kasar dan terheran-heran pada diri sendiri mengapa kiranya
dia bisa begitu?
***
“Sorry,” Hamzah merangkul bahu Adi
ketika adiknya sedang bersantai di tepian kolam renang. Hamzah duduk tepat di
samping adiknya. “Gua harap lo beneran gak kesinggung, Dek.”
Adi meminum jus jambunya terlebih
dahulu sebelum menoleh pada Hamzah.
“Santai, Kak. Gua gak ambil hati kok.”
Hamzah mengangguk. Lalu ia pun mengacak-acak
rambut Adi layaknya anak kecil.
“Dek, kalau lo emang serius mau nikah
sama dia harus usaha dan do’a.”
“Selalu do’a gua mah, Kak. Ishaa Allah
di waktu-waktu mustajab. Gini-gini gua Si Penikung di Sepertiga Malam loh.
Jaga-jaga kalau ternyata ada laki-laki lain yang berharap bisa jadi suami doi.”
“Oh jadi itu kenapa lo shalat
tahajud?”
Adi terkekeh. “Ya gitu deh.”
Hamzah pun tersenyum. “Dasar.”
Hamzah pun tersenyum. “Dasar.”
Komentar
Posting Komentar