Prolog
“Al Hasan bin Ali rahimmahullah pernah
berkata pada seorang laki-laki; ‘kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang
bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan
jika tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzaliminya’ karena itulah, aku
memilih kamu untuk menjadi bakal Imamku. Jadi…. Apa Kak Hamzah bersedia?” Tanya
Nissa dengan dada berdebar. Secercah harapan tersorot dalam maniknya. Dia sudah
berusaha menjadi sosok layaknya Khadijah yang menyatakan perasaannya lebih dulu
kepada Nabi Muhammad meski dia sadar cara yang seperti ini adalah salah. Sebab
Khadijah menyatakannya lewat perantara, sedangkan dia nekat mengatakannya
langsung. Dan Nissa berharab ending dari kisahnya ini yang sama seperti
Khadijah. Dimana Nabi Muhammad menerimanya dan mereka hidup bahagia dalam
mahligai rumah tangga yang samawa.
Akan tetapi…. Hamza justru menjatuhkan
harapannya hanya dengan dia yang berkata, “Dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu,
Rasulullah bersabda: ‘perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan kerena agamanya, lalu pilih
perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia’ dan saya memilih perkara yang ke
empat.”
Nissa tertegun, “Ma-maksud….”
“Maaf,” Hamzah tersenyum. “saya sudah
punya bakal Makmum, Nis. Dan kami akan menikah tidak lama lagi. Maafkan saya.”
Lutut Nissa melemas. “Kak Hamzah tidak
memilihku apa karena agamaku yang jauh dari kata baik?”
“Bukan,” jawab Hamzah. “sebab saya
tidak yakin bisa membimbing kamu. Kamu berhak mendapatkan laki-laki lain yang
lebih pantas dari saya untuk meminang wanita seperti kamu.”
Nissa mengepalkan tangan. Ia menatap
Hamzah dengan matanya yang berkaca-kaca. “Kak, pada dasarnya laki-laki yang
beriman tidak pernah memilih siapa yang akan dia jadikan Makmumnya. Sebab,
laki-laki yang beriman akan mampu membimbing wanita mana pun untuk menuju
kejannah-Nya. Jadi, jangan membuat alibi klasik seperti itu. Katakan saja kalau
Kak Hamzah memang tidak mau denganku. Ya, seharusnya aku sadar. Aku benar-benar
buruk. Maka tidak heran bilamana seorang hafidz seperti Kak Hamzah menolakku.
Kalau begitu aku minta maaf karena sudah mengganggu waktu Kak Hamzah. Dan
terima kasih atas jawabannya. Aku permisi dulu, Assalamu’alaikum.”
Hamzah bergeming. Nissa pun
membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauhi sosok yang tengah terpaku dalam
diamnya. Hamzah menelan saliva susah payah. Sekarang, yang menjadi
pertanyaannya adalah…. Apa sebegitu mudahnya Nissa membaca mata batinnya?
Hamzah merasa bersalah. Apa yang tadi dikatakan Nissa memang benar. Hamzah
tidak memilih gadis itu karena dia tahu…. Nissa tidak pantas untuk bersanding
dengannya, menjadi istrinya sebab Nissa yang masih jauh dari kata; Shalihah.
Komentar
Posting Komentar