Penguntit
“Aku berangkat ya.”
“Gak mau bareng Kakak?”
Nissa menyalami punggung tangan
Tengku. “Aku naik sepedah aja.”
Tengku mengusap kepala adiknya yang
tertutupi hijab. “Oh yaudah, hati-hati di jalan kalau gitu.”
“Sip,” Nissa mengucapkan jempolnya.
“Assalamu’alaikum, Kak!”
“Wa’alaikumsalam.”
Usai Tengku menjawab salamnya, gadis
itu pun melangkahkan kakinya keluar rumah dan menunggangi sepedahnya, Nissa
mengayuh kendaraan tersebut. Dia memakai celana training supaya ketika roknya
terangkat, aurat kakinya tidak terlihat. Walau sikap Nissa belum baik, gadis
itu jelas tahu batasan-batasan aurat.
Dia juga paham bahwa memakai celana
ketat, sebenarnya tidak boleh. Tetapi mau bagaimana lagi? Nissa lebih nyaman
memakai celana seperti itu dari pada yang longgar.
Baginya, pergerakan jadi lebih bebas.
Bahkan rok sekolahnya saat ini benar-benar menyusahakan. Kalau saja sekolah
memperbolehkan siswi memakai celana, sudah pasti dia akan menjadi perempuan
pertama yang akan merubah penampilannya.
Sebelum sungguhan pergi menuju ke
sekolahnya, Nissa bertandang ke sebuah rumah. Setibanya disana, gadis itu
memanggili nama seorang sahabatnya.
“Aldo! Berangkat yuk!”
Rumah Aldo hanya beda beberapa blok
dari tempat tinggalnya, sehingga Nissa selalu menyampar laki-laki itu. Nissa
jelas tidak memperbolehkan sahabatnya yang menyampar ke rumah. Dia tidak mau
Tengku melarang Aldo bergaul dengannya.
Sehingga Nissa meminta agar dia saja
yang kerap datang ke rumah sahabatnya.
“Aldo? Oi? Aldo ayo kita….”
Nissa pun menggantungkan ucapannya
tatkala melihat gerbang itu dibuka dari dalam. Sosok laki-laki sebayanya muncul
dengan wajah ceria.
“Iya bawel, gua denger kali.”
Nissa menyengir. “Ayo, Al.”
Aldo menatap sesaat kendaraan Nissa.
“Sepedah lo titip sini aja. Ke sekolah kita naik motor ya.”
“Gak mau,” Nissa menolak sembari
menggeleng. “masih pagi ini. Naik sepedah aja deh. Bosen tahu naik motor terus.
Mau ngerasain suasana baru. Kalau lo enggak mau, gua jalan duluan nih.” Nissa
menginjak pedal dan siap mengayuh lagi. Akan tetapi Aldo langsung saja
mencegahnya.
“Eh tunggu dulu, bawel! Jangan ngambek
dong,” Aldo mencubit pipi Nissa hingga gadis itu pun meringis kesakitan dan
reflek saja memukul pelan pergelangan tangan sahabatnya. Aldo tertawa puas saat
Nissa menatapnya kesal.
“Jangan cubit, sakit tahu!”
“Utututu, sakit ya bawel?” ledek Aldo.
Nissa mengerucutkan bibirnya. Aldo mengusap kepala Nissa dangan gemas. “iya-iya
maaf udah bikin kesal. Ayo biar gua yang bawa. Lo pindah kebelakang gih, biar
gua boncengin.”
Bibir Nissa tertarik ke atas. Rasa
senang membuncah di dadanya. Nissa memandang penuh selidik. “Gak bohong kan?”
Aldo mengerlingkan mata. Laki-laki itu
berdecak. “Buruan pindah bawel!”
Nissa menurutinya. Gadis itu buru-buru
turun. Sedangkan Aldo lantas menduduki jok depan. “Gece, bawel! Perjalanan
masih jauh nih.”
“Iya-iya sabar dong. Kayanya lo deh
yang sebenarnya bawel. Nyebelin!”
Setelah mendaratkan bokongnya di jok
belakang, Nissa segera saja melingkarkan tangannya ke pinggang Aldo. Keduanya
pun pergi meninggalkan perumahan tersebut menuju ke sekolah yang jaraknya cukup
jauh. Tanpa mereka sadari, seseorang di belakang sana, tidak begitu jauh dari
posisi rumah Aldo, tengah memperhatikan mereka dari dalam mobil. Dia adalah
Hamzah, yang sejak tadi menguntit Nissa.
Hamzah menggeleng miris. Ia sontak
saja bergumam, “Dek, lo yakin masih mau nikahin Nissa setelah lo tahu ternyata
dia suka bersentuhan sama yang bukan mahramnya?”
Hamzah memijat pelipisnya. Kalau Adi
tetap nekat memilih Nissa sebagai bakal makmumnya, berarti Adi harus sabar
membimbing gadis itu. Bagaimana pun Hamzah mengerti bahwa pemudi seperti Nissa
pasti akan sulit diatur. Semoga saja, kalau Adi dan adik sahabatnya itu memang
berjodoh, Adi sanggup menghadapi setiap perilaku di diri Nissa.
***
“Dua hari yang lalu kenapa gak jadi
main ke rumah? Padahal bibi udah masakin makanan kesukaan lo, tahu!” Tanya Aldo
tanpa melepas fokusnya menatapi jalanan dengan kaki yang tiada henti mengayuh
pedal. Mereka masih dalam perjalanan menuju sekolah.
“Calon Imam gua lagi mampir kerumah,
Al. Sorry karena gak jadi datang,” Nissa tidak mungkin memberitahu Aldo bahwa
Tengku yang melarangnya main. “sabtu depan deh gua beneran main. Atau mau
minggu aja? Bebas. Inshaa Allah kali ini gua….”
“Gimana kalau kita nonton aja? Gua
yang traktir,” tawar Aldo. “mau gak?”
Nissa berpikir sejenak.
“Bawel? Mau gak?”
“Inshaa Allah,” respond Nissa. Ia
terkekeh. “kalau lagi gak ada acara.”
“Sok sibuk lo!”
“Ih siapa tahu’kan calon Imam tiba-tiba
datang ngajakin ta’aruf,” Nissa yang tidak mau kalah, berusaha membela diri.
“masa iya gua-nya pergi?”
Aldo mendengus. “Terserah lo aja deh,
bawel. Kalau udah bawa-bawa calon Imam, gua pasti kalah omong.”
Nissa mengulum senyum. Di sisa
perjalanan itu, Nissa pun membayangkan sosok Hamzah. Laki-laki yang sudah
mengambil hatinya sejak mereka bertemu pertamakali.
Tepatnya ketika Nissa yang disuru Ummi
untuk memberikan puding sebagai tanda penyambutan tetangga baru mereka yang
hanya dipisahkan beberapa rumah saja.
Dan di kediaman Alfarisi jelas beda
dari yang lain. Rumahnya tiga kali lipat lebih besar dari rumah orang lain
tempati di seantero perkomplekan tersebut. Aldo tentu saja mengenalnya juga
meski tidak satu blok.
Pasalnya, marga Alfarisi sudah tersohor
di pulik. Ayah Hamzah dan Adi itu merupakan mantan Aktor yang sekarang
bertransformasi menjadi pengusaha perbutikan dan restaurant didampingi Sang
Istri.
“Laki-laki tuh seharusnya emang
mengalah sama wanita, Al,” Nissa mencolek punggung Aldo dengan tangannya yang
bebas. “gak kaya lo.”
“Sorry ajalah, gua gak mau jadi bucin
kayak lanang di luar sana,” respong Aldo.
“Ih Aldo, kalem weh,” Nissa
menggembungkan pipi. “Cuma canda.”
“Canda lo gak lucu, asli.”
Komentar
Posting Komentar