Impian
Impian Nissa Shafiyah tidak
muluk-muluk. Dia hanya berharap satu saja kepada Allah. Yakni berjodoh dengan
laki-laki sholeh yang akan membimbingnya menuju jannah.
Laki-laki yang bertakwa, bukan yang
tampan, kaya, tangguh maupun sekedar baik akhlaknya. Karena Ummi pernah bilang
padanya, “Jangan gegabah dalam memilih calon Imam. Pastikan dia bertakwa kepada
Allah. Karena laki-laki yang bertakwa Insyaallah adalah paket lengkap. Dia
tampan karena selalu berwudhu. Dia kaya akan rasa syukurnya atas rezeki yang
telah Allah berikan. Dia tangguh dalam membentengi diri dari hal-hal yang
dilarang Allah.”
Dan sekarang Nissa telah menemukannya.
Sosok itu sedang duduk bersama kakaknya di ruang utama. Nissa melihatnya,
lantas menuruni anak tangga sambil bersiul. Saat ia melintas di hadapan dua
laki-laki dewasa tersebut, Nissa menghentikan langkahnya dan berpura-pura
terkejut atas kehadiran tamu kakaknya. “Eh, ada Kak Hamzah?”
Hamzah Alfarisi, laki-laki yang
tadinya tengah berbincang dengan sang sahabat, Tengku, yang tidak lain tidak
bukan merupakan kakaknya Nissa, menoleh kesumber suara. Ia tersenyum sopan pada
gadis itu, “Assalamu’alaikum, dek?”
Disapa oleh pujaan hatinya, pipi Nissa
lantas memerah. Menarik napas yang terasa mencekik leher, Nissa refleks
menjawab, “Wa’alikumsalam, calon Imam,” dengan gaya centilnya, gadis itu
mengedipkan mata. “pantas saja rumah ini teh adem ya? Roman-romannya kaya ada
hawa jannah gitu deh, hehehe…. Dan ternyata dugaanku memang benar…. Buktinya,
salah satu calon penghuni surga teh lagi nyasar disini. Ah ya, A’a Hamzah,
kumaha damang? Omong-omong A’a makin kasep wae euy…. Masya Allah,” gombalnya.
[Kumaha damang? = apa kabar?]
[Makin kasep wae = makin ganteng saja]
Dengan
mata membulat karena malu atas sikap adiknya yang blak-blakan tersebut, Tengku
melempar bantal sofa ke adiknya hingga benda itu berhasil mengenai wajah Nissa
yang menunjukkan raut mendamba pada sahabatnya. Nissa yang tidak siap mendapat
serangan tiba-tiba itu pun mengaduh. “Astagfirullah.”
“Itu mulut tolong dikondisikan ya! Gak
sopan banget kamu,” ujar Tengku.
Nissa mengerucutkan bibir. Hamzah
terkekeh pelan menyaksikan pertengkaran ringan Adik-Kakak itu. Hamzah
memperhatikan Nissa yang membungkukkan badan untuk mengambil bantal. Nissa pun
meletakkan bantal tersebut ke sofa.
Tengku berkata lagi, “Minta maaf gak!”
“Ih, iya-iya,” respond Nissa. Ia
menoleh pada Hamzah dengan bibir mengulum senyum. Nissa berkata, “A’a Hamzah,
hapunten abdi.”
[Hapunten abdi = maafin saya ]
“Tidak apa-apa, Dek,” ucap Hamzah diselingi
tawa kecil. Nissa yang salah tingkah, mengigit jari telunjuknya. “Hatur nuhun,
A’a. kalau begitu Nissa teh pergi dulu ya. Punten A’Hamzah. Assamu’alaikum?”
[Punten = permisi ]
“Wa’alaikumsalam.”
“Eeeehhhh…. Mau kemana kamu?” Tengku
buru-buru beranjak dari duduknya dan mencegah kepergian sang Adik. Laki-laki
itu memblokir jalan Nissa menuju pintu. Tengku meneliti pakaian adiknya dan
menggelengkan kepala. Pasalnya celana jeans yang dipakai Nissa sangat ketat.
“Mau kerumah Aldo, Kak.”
“Ngapain?” ada nada tidak suka saat
Tengku bertanya. “kan kakak sudah bilang jangan bergaul lagi sama anak itu! Gak
paham-paham juga ya kamu? Hah?”
“Cuman sebentar kok.”
“Sebentar-sebentar apanya! Kalau main
sama dia gak pernah ingat waktu kamu tuh! Naik ke atas gak? Balik ke kamar
dengan cara baik-baik atau lebih suka dikasarin nih?” Tengku mengancam.
“Ih Kakak, yang penting teh aku tidak
perna lupa sholat lima waktu,” Nissa mencoba membela diri. Meski sedang
berhadapan dengan kakaknya yang lagi marah, gadis itu masih saja menyempatkan
diri untuk menoleh pada Hamzah sekedar memberikannya senyuman. Hamzah yang
tidak mau terlibat aksi tatap-tatap, mengalihkan fokus pada kaligrafi yang di
pajang di dinding-dinding ruangan.
“Untuk sekarang memang iya! Tapi
bagaimana kedepannya? Kalau kamu masih berteman sama anak berandal seperti dia,
bisa-bisa kamu kebawa pergaulan bebasnya!” bentak Tengku. Ia mengacungkan jari
kewajah Nissa. “jangan mentang-mentang Ummi dan Abi tidak ada dirumah, kamu
bisa leluasa pergi kemana pun! Kakak mengawasi kamu. Dan sekarang, cepat naik
KE ATAS! BURUAN!”
“Aih, iya deh iya.”
Nissa menghentakkan kaki sebelum
berlalu meninggalkan ruang untuk kembali ke kamarnya. Setalah kepergian sang
adik, Tengku meminta maaf kepada Hamzah atas apa yang terjadi. “Maaf ya,
seperti yang kamu tahu. Adik saya memang sulit diatur. Suka melunjak. Maaf ya
sudah memutuskan perbincangan kita.”
“Ah iya, gak masalah.”
Tengku kembali duduk. Ia bertanya pada
sahabatnya. “So, kapan acaranya mau dilaksanakan? Adikmu juga ikut?”
“Inshaa Allah lusa. Tentu saja dia
ikut kok. Kemungkinan, dia pulang malam ini. Biar punya waktu untuk istirahat
dulu. Kamu bakalan datang, kan?”
“Inshaa Allah. Boleh saya bawa Nissa
juga? Soalnya Abi dan Ummi baru pulang minggu depan. Kalau meninggalkan Nissa
sendiri, saya takut itu anak kemana-mana.”
Hamzah berpikir sejenak. Keraguan
tercetus dalam benaknya. Dia tentu saja tahu bagaimana tabiat Nissa. Kalau dia
membiarkan gadis itu hadir di acara pentingnya, apakah itu pilihan yang tepat?
Bagaimana kalau gadis itu mangacau disana mengingat sikapnya yang menurut
Hamzah sangat jauh dari cerminan muslimah?
Namun, karena tidak enak menolak
permintaan Tengku, Hamzah pun terpaksa mengangguk. “Tidak apa-apa.”
“Serius kamu?”
“Iya.”
“Terima kasih ya, Ham.”
“Sama-sama,” kata Hamzah mengakhiri
perbincangan di antara mereka.
Komentar
Posting Komentar