Ilfeel


Nissa bersenandung seraya menggosok-gosoki sepedahnya dengan spons yang telah direndam air sabun. Pekarangan rumahnya sudah banjir. Tetapi gadis itu sama sekali tak peduli. Yang penting dia bisa selesai sebelum maghrib tiba. Karena Calon Imam akan bertandang ke rumah untuk mengajak Kakaknya shalat berjama’ah di masjid.
Nissa mengulum senyum kala wajah Hamzah terbayang-bayang dalam benaknya. Walau sikap Hamzah rada dingin, ia tetap menyukainya. Malah, Nissa semakin tertarik. Bagi Nissa, Hamzah itu tipikal laki-laki yang patut dijadikan idaman. Selain tampan dan sukses, Hamzah juga sholeh.
Selepas mencuci sepedahnya, Nissa buru-buru mandi. Ketika jam sudah menunjukkan pukul setengah enam, gadis itu sibuk mencari baju terbaiknya. Nissa memoleskan bedak pada wajah dan lipstick merah  muda ke bibirnya. Setelah itu, Nissa segera turun ke lantai dasar.
Tepatnya diruang tamu di mana ia mendapati sosok Tengku yang tengah duduk di sofa. Hanya dengan melihat tas kerja Tengku yang berada di atas meja, Nissa bisa menebak Sang Kakak baru pulang. Nissa tersenyum dan menghampiri Tengku.
“Pulang jam berapa Kak?”
Tengku melirik jam tangannya. “Salam!”
Nissa cengengesan. Gadis itu duduk disamping Tengku dan memeluk Kakaknya dengan gemas. “Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” respon Tengku. Ia mengelus kepala adiknya. “nah gitu dong. Biasakan salam dulu baru Tanya.”
“Iya-iya,” Nissa mengerucutkan bibir. “Kakak gak mandi? Nanti kalau kak Hamzah keburu nyamper gimana?”
“Ya tinggal jalan ke masjid.”
“Ih, Kakak,” Nissa melepaskan pelukannya. “masa mau ke rumah Allah gak mandi sih…. Jorok tahu!”
“Tumben omongan kamu bener,” Tengku terkekeh geli. “dapat pencerahan dari mana kamu, dek?” habis tabrakan?”
“Astagfirullah,” Nissa mengelus dada. “ucapan Kakak mah parah ih.”
“Loh, Kakak benar, kan?” canda Tengku.
Nissa menggeleng. “Sal…”
“Assalamu’alaikum?”
Nissa menggantungkan kata-katanya ketika salam seseorang dari luar terdengar. Mengenali pemilik suara bariton itu, Nissa pun lantas beranjak dari duduknya dan berlari kecil menghampiri pintu. Nissa lekas membuka penghalang rumah dan tersenyum dengan lebar.
“Wa’alaikumsalam.”
Namun senyumnya seketika lenyap ketika melihat sosok Hamzah tidaklah sendiri. Adi yang berdiri di sisi kanan Hamzah, melambaikan tangan padanya.
“Hai, bakal Makmum?” sapa Adi diselingi kekehan. “sini peluk A’a.”
Nissa mengerlingkan mata kesal. Bukannya merespond candaan Adi, gadis itu justru menatap Hamzah sembari cengengesan. “Selamat sore bakal Imam-ku. Sebentar dulu ya…. Aku panggilin Kak Tengku. Mohon tunggu.”
“Mohon tunggu…” Adi meniru Nissa. “kayak operator aja kamu tuh.”
“Ih, like-like aku dong.” Nissa berdecak pinggang. “mau apa kamu?”
Nissa melupakan tujuannya untuk memanggil Sang Kakak. Nissa justru meladeni ledekan Adi. Ekspresinya bahkan sengaja dirubah jadi garang. Bukannya takut atau pun merasa kesal karena dirinya tidak di respond baik, Adi justru merasa gemas.
“Astagfirullah,” respond Adi. “dedek jangan galak-galak dong sama A’a. A’a Adi teh jadinya pengen buru-buru nikahin dedek aja nih. Kalau udah halal kan enak bisa dipeluk sepuasnya.”
“IH KURANG AJAR SIA!” Nissa menudingkan jarinya. Hamzah yang menyaksikan keduanya, mendengus.
“Kalian ini kalau ketemu kenapa suka ribut sih?” Hamzah menatap bergantian Nissa dan Adi. Kemudian laki-laki itu memukul pelan pundak Sang adik. “Kalau ngomong tuh dijaga, Di. Lain kali tolong difilter dulu!”
Adi pun manggut-manggut tidak semangat. Diceramahin depan perempuan yang dia sukai menurutnya tidak keren sama sekali. Sedangkan Nissa yang mengira dibela, senyum-senyum malu pada Hamzah. “A’a, makasih ya.”
Hamzah mengalihkan pandangan ke Nissa. “Kamu juga, kalau ada yang ngajak ribut, sebaiknya di cuekin!”
Nissa memberenggut. Tetapi, meski Hamzah memarahinya, gadis itu tidak ambil hati. Bahkan, rasa senang justru hinggap di sanubarinya. Kalau Hamzah menegurnya karena kesalahan yang ia perbuat, bukankah itu artinya Hamzah perhatian? Nissa lantas kembali menarik bibir memikirkan hal tersebut. “Iya, calon Imamku, hehehe… Inshaa Allah aku tidak akan mengulangi lagi deh.”
Nissa menoleh pada Adi. “Calon adik ipar, maafin aku ya karena sudah bentak kamu. Gak ada maksud kok.”
Adi bergidik. “Adik ipar? Ewh. Kamu bakal nikah sama saya, Neng geulis. Panggil saya bakal Imam dong. Papi juga gak masalah. Atau minimal, A’a kasep kitu. Kalau kurang sreg, panggil Daddy juga saya gak keberatan kok.”
“IH, JIJIK!” Nissa membulatkan mata. Ia hendak menyahuti ledekan Adi itu. Namun, suara Tengku yang terdengar jelas di belakang tubuhnya, membuat gadis itu seketika bungkam.
“Jangan keseringan ribut, adik-adik. Hati-hati loh… siapa tahu suatu saat nanti, kalian malah jadi pasangan yang paling lengket. Ya semacam benci jadi cintalah,” ujar Tengku diselingi tawa.
“Aamiin Bang.”
“Amit-amit.”
Tawa Tengku meledak saat respond kedua anak muda itu bertentangan. Hamzah menarik napas, merasa malas untuk mendengar semuanya. Dia makin tidak suka pada sosok Nissa yang terlalu kecentilan karena tidak berhenti menyahuti setiap ucapan Adi. Nissa benar-benar berbeda dengan Tengku yang berwibawa dan selalu menjaga sikap sopan santunnya.
“Ke masjid, kan?” Hamzah melirik arlojinya. “bentar lagi maghrib, ayo.”
Tengku menghentikan tawa. “Ayolah. Btw kamu juga ikut, Di?”
“Iya, Bang. Mumpung masih di Jakarta. Kapan lagi bisa shalat berjamaah bareng kalian,” sahut Adi.
“Bagus itu, Di. Yasudah…. kita pergi sekarang, yuk,” Tengku mengusap bahu adiknya. “kami berangkat dulu ya, dek? Jaga diri kamu, Dek. Baik-baik di rumah. Assamalamu’alaikum.”
“Iya, Kak. Wa’alaikumsalam.”
Tengku menghampiri kakak-beradik itu.
“Ayo berangkat, Di. Ham,” katanya sembari berjalan mendahului. Adi melempar senyum kecil pada Nissa. “A’a mau pergi dulu ya bakal makmum, baik-baik di rumah. Hitung-hitung sekalian belajar buat jadi Ibu rumah tangga. Dadah Neng geulis. Assalamu’alaikum.”
Adi berlari kecil guna mengejar Tengku. Kedua laki-laki itu pun berbincang sembari jalan dan tampak sibuk. Sampai-sampai mereka tidak sadar bahwa Hamzah masih tertinggal jauh di belakang sana. Masih di pekarangan rumah. Hamzah memperhatikan Nissa yang tengah memandangi serius punggung Adi.
Hamzah pun berdeham cukup keras. Nissa yang mendengar, sontak saja tersadar. Gadis itu menatap Hamzah terkejut sekaligus canggung karena tertangkap basah lagi memperhatikan sosok Adi. “Loh Kak Ham belum….”
“Seorang wanita sebaiknya berkata secukupnya saja,” potong Hamzah sembari tersenyum mengejek.
Nissa tertegun.
Hamzah mengangguk kecil dan berkata lagi, “Saya permisi, Assalamu’alaikum.”
Nissa pun menatap Hamzah yang mulai melangkahkan kakinya. Dada Nissa berdebar tidak karuan. Apa maksud Hamzah tadi? Apa dipandangan laki-laki itu, sebegitu buruknya kah sikap dia selama ini?
Nissa menggigit bibirnya.
Dengan suara lirih, ia menjawab salam Adi dan Hamzah sekaligus. Sorot yang tadinya biasa saja, kini berubah sendu. Jagan-jangan Hamzah sendang ilfeel padanya?
Nissa sekatika merasa sedih.

Komentar