Festival


“Dek, sudah selesai belum?” suara Tengku terdengar jelas bersamaan dengan ketukan di pintu kamarnya.
Nissa yang sedang mengoles liptint, tidak menyahut. Nissa memanyunkan bibirnya memastikan bahwa liptint yang dipakainya tidaklah berantakan. Merasa puas atas make-up yang ia poles di wajah, Nissa tersenyum lebar dan sontak memuji dirinya sendiri, “Masyaa Allah, abdi teh geulis pisan euy. Tapi…. Kunaon A’a Hamzah teu bogoh ka Abdi ya? Eum, atau minimal teh resep kitu? Eh aish! Aya-aya wae kamu tuh, Nis! Ngelantur mulu. A’a Hamzah teh anaknya alim, mana mau sama kamu?”
[ Masyaa Allah, aku cantik banget ya. Tapi… kenapa Mas Hamzah gak cinta ke aku ya? Eum, atau minimal suka gitu? Eh aish! Ada-ada saja kamu tuh, Nis! Ngelantur mulu. Mas Hamzah anaknya alim, mana mau sama kamu?]
“Dek! Sudah belum?” Tengku yang mulai tidak sabaran, menggedor-gedor pintu.
Nissa memutar bola matanya kesal. Gadis itu beranjak dari kursi dan berjalan menuju ranjang untuk memakai wedges-nya. Sembari itu, ia berteriak “Sekedap deui!”
[ Sebentar lagi!]
“Enggal atuh! Upami telat kumaha?” Tanya Tengku tidak sabaran.
[ Buruan dong! Kalau telat gimana?]
Nissa yang sudah memakai alas kakinya pun segera keluar. Di sana, ia melihat Tengku yang sudah berdiri dengan jengah menunggunya. Dan tatkala Tengku melihat make-up yang dipakai adiknya cukup tebal, laki-laki itu pun berjengit kaget.
“Nanaonan ieu?”
[ apa-apaan ini?]
Nissa mengerutkan dahi. Ia malah bertanya, “Apanya?”
“Make-up kamu tebel banget!”
“Ih, ini teh biasa saja A’a.”
“Anjeun bade ngelenong, iya?”
[ Kamu mau ngelenong, iya?]
Nissa mengerucutkan bibir. Ia berdecak kesal, “Enak saja! Aku mau tampil cantik tahu di depan Kak Hamzah. Sudah deh, tidak usah komen.”
Tengku mendengus. “Yasudah! Buruan! Telat nih!” lalu ia pun meninggalkan Nissa dan berjalan lebih dahulu untuk menuruni anak tangga. Dengan dada memanas akibat di komentari sang kakak, Nissa mengelus-elus dadanya.
“Sabar, Nis,” gumamnya untuk menyemangati dirinya sendiri. Kemudian gadis itu pun mengekori Sang Kakak menuju ke bawah.
***
Tidak sampai satu jam melakukan perjalanan, mereka tiba di sebuah hotel dimana keluarga Hamzah mengadakan acara. Dengan menunjukkan kartu undangan, Tengku di bimbing seorang penjaga ke ruangan Hamzah berada.
“Terima kasih,” kata Tengku dengan sopan pada sosok yang mengantar mereka. Sedangkang Nissa hanya mengangguk sembari senyum.
“sama-sama, Mas. Silahkan masuk.”
Pintu di bukakan olehnya. Tengku dan Nissa segera melangkah ke dalam. Nissa hampir saja berseru takjub sewaktu melihat interior di ruangan tersebut yang benar-benar mewah. Nissa tentunya tahu bahwa keluarga Alfarisi adalah salah satu keluarga terpandang di wilayahnya.
Bahkan bisa dikatakan sebagai keluarga borjuis. Sebab itu mereka mampu menyewa ruangan di hotel ternama ini dengan mudahnya.
Meski begitu, keluarga Alfarisi tidak dikenal sombong. Bahkan orang-orang yang mengenal, acap kali menjulikinya keluarga dermawan. Dan Nissa pun tidak lagi heran bilamana semua anggota keluarga Alfarisi punya kesuksesan sendiri.
Anak sulungnya, yakni Hamzah, adalah seorang hafidz Al-Qur’an yang berhasil membangun panti asuhan di wilayah mereka berkat profesinya sebagai guru di sebuah pesantren sekaligus dosen Agama Islam di salah satu Universitas ternama Jakarta.
Mengagumkan.
Belum lagi Adi Alfarisi, adik kandung Hamzah yang sukses memiliki usaha perkebunan teh di Bogor.
Nissa juga mendengar kabar bahwasannya Adi telah menyumbang materi untuk membangun masjid tidak jauh dari perkebunan yang dimilikinya.
Masjid yang sering digunakan para musafir untuk menunaikan sholat ketika melintasinya. Benar-benar membanggakan. Dan kehebatan kedua adik - kakak tersebut tentu saja tidak lepas dari campur - tangan Nyonya dan Tuan Alfarisi dalam mendidiknya.
Nissa menghela napas. Dan saat Nissa menjajakan mata ke sepenjuru arah, dia baru tahu bahwa acara yang dimaksudkan itu ternyata festival anak sekolah, karena melihat spanduk bertulisan FAS – Festival Anak Sholeh. Dan ternyata memang benar. Sebab di depan sana, Nissa mendapati banyaknya anak-anak dari berbagai khalangan usia 5-14 tahun sedang berkumpul sesuai kelompoknya masing-masing.
Kemudian perasaan Nissa langsung membuncah senang sewaktu dirinya menangkap sosok Hamzah yang tampak berbincang-bincang dengan orang tua peserta lomba. “Kak, itu A’a Hamzah di sana.” Nissa memberi tahu Tengku yang memang sedang mencari-cari sahabatnya.
“Oh iya benar, ayo kesana.”
Nissa dan Tengku melangkah berdampingan menuju Hamzah. Tiba di sana, keduanya memberi salam hingga menjadi pusat perhatian Hamzah.
“Assalamu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam,” Hamzah menoleh.
Senyum manis tercetak di wajahnya kala mengetahui siapa yang baru saja menyapa. “Alhamdulillah kalian sudah datang. Sebentar lagi acaranya mau dimulai. Di jalan macet?”
“Gak macet,” respond Tengku. “Adik saya ini nih yang kelamaan dandannya.
Hamzah mengalihkan pandangannya ke anak-anak dan orangtua yang masih berdiri di dekat mereka. “Kalau gitu kita lanjutkan nanti lagi ya, Bu, Pak. Dan adik-adik, jangan lupa berdo’a supaya menang jadi juara satu ya.”
“Iya mas Hamzah, terima kasih.”
“Makasi kakak.”
Hamzah tersenyum. “sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu ya semuanya? Assalamu’alaikum,” ujar Hamzah. Usai salamnya di respond, laki-laki itu pun meminta Tengku dan Nissa untuk ikut bersamanya. “Kita bicara di sana saja yuk?”
Hamzah menunjuk ke sudut ruangan dan berkata lagi, “Sekalian menunggu keluarga saya yang lainnya, mereka masih siap-siap di ruang rias.”
“Oh pantas saja saya gak lihat Adi dan Orangtua kamu,” respond Tengku.
Sedangkang Nissa hanya diam memendam rasa kesal pada Hamzah yang entah kenapa, kalau sudah membahas dirinya, laki-laki itu hobi sekali mengalihkan topik.
Tahu begini Nissa lebih baik pura-pura kesal pada Tengku yang tadi telah menyinggungnya soal kelamaan dia yang berdandan.

Komentar

Posting Komentar